Jakarta – Kelompok masyarakat sipil, termasuk 350.org Asia, menilai pertemuan iklim COP30 di Belém, Brasil, berakhir dengan kegagalan menyusun peta jalan yang jelas, terukur, dan berjangka waktu untuk menghapus bahan bakar fosil. Ketiadaan arah konkret itu dinilai mengecewakan dan hasil COP30 kembali menunjukkan lemahnya keberanian politik negara-negara besar penghasil emisi.
Kegagalan ini antara lain disebabkan oleh tidak memadainya upaya melipatgandakan pendanaan adaptasi, dan diperpanjangnya tenggat hingga 2035 dan tanpa angka yang tegas. Tidak ada rujukan eksplisit mengenai penghentian fosil dalam dokumen akhir, meski lebih dari 80 negara telah mendukung usulan peta jalan penghapusan fosil yang didorong oleh Presiden Brasil, Luiz Inácio Lula da Silva.
Di tengah kegagalan tersebut, 350.org Asia menegaskan bahwa gerakan iklim akan menjaga momentum transisi energi bersih tetap bergerak. Hal itu tercermin dari keberhasilan mendorong lahirnya “Mekanisme Aksi Belém”—kerangka kerja yang mengakui perlunya transisi yang adil, perlindungan hak pekerja, penguatan peran Masyarakat Adat, serta pendanaan berbasis hibah.
Norly Mercado, Direktur Regional 350.org Asia, mengatakan bahwa COP30 menunjukkan kontras tajam antara ketidakmampuan negara-negara besar dan kekuatan aksi kolektif rakyat.
“COP30 tidak memberikan hasil ambisius yang dibutuhkan dunia, tetapi membuktikan apa yang dapat dicapai oleh gerakan rakyat: momentum yang tak terhentikan untuk keadilan iklim dan masa depan bebas fosil,” ujar Norly.
“Sangat mengecewakan bahwa sebagian besar negara Asia gagal mendukung peta jalan penghapusan fosil. Tetapi momentum untuk transisi yang adil memberi gambaran jelas ke mana arah kepemimpinan iklim yang seharusnya.”
Mercado menegaskan bahwa perjuangan tidak berhenti di meja negosiasi. Asia sebagai wilayah yang paling rentan sekaligus rumah bagi perluasan proyek fosil terbesar harus menjadi pusat perlawanan terhadap krisis iklim.
Pendanaan adaptasi dan risiko krisis di Asia
Kegagalan COP30 menetapkan jadwal dan angka pendanaan adaptasi dinilai memperburuk kerentanan Asia, yang mengalami pemanasan hampir dua kali lebih cepat dibanding wilayah lain. Chuck Baclagon, Juru Kampanye Keuangan Regional 350.org Asia, menilai negara-negara kaya kembali gagal menunjukkan keseriusan.
“Tanpa jadwal tegas untuk mengurangi bahan bakar fosil, Asia tetap terpapar badai, gelombang panas, dan naiknya permukaan laut yang semakin parah,” katanya. “Sungguh tidak dapat dimaafkan bahwa negara kaya bahkan tak mampu mengumpulkan pendanaan adaptasi dasar bagi masyarakat garis depan.”
Menurut Baclagon, kebutuhan pembangunan Asia yang tinggi tidak dapat dijadikan alasan mempertahankan batu bara, termasuk dengan skema pendanaan yang mendorong utang. Asia memiliki potensi energi surya dan angin yang besar—yang kurang hanyalah keberanian politik.
Dari Indonesia, kekecewaan lebih tajam muncul karena dominasi pelobi fosil di dalam dan sekitar delegasi resmi. Sisilia Nurmala Dewi, Team Lead 350.org Indonesia, menyoroti ironi tersebut.
“Bagaimana rakyat Indonesia bisa percaya pada pemimpin mereka ketika pelobi fosil menjadi penyandang dana terbesar Paviliun Indonesia dan bahkan menyusup ke delegasi?” tegas Sisilia.
“Indonesia disandera industri fosil, yang didukung politisi yang terus memberi ruang melalui berbagai pengecualian kebijakan—semua atas nama target pertumbuhan ekonomi 8% yang hanya dinikmati 1% penduduk.”
Sisilia menegaskan bahwa masyarakat tidak akan berhenti memperjuangkan target 1,5°C serta meminta pertanggungjawaban para pencemar karbon.
Dari Asia Selatan, Amanullah Porag, Koordinator Mobilisasi 350.org, menilai paket hasil COP30 hanya mengakui kesenjangan historis tanpa menyusun mekanisme korektif yang jelas. “Tanpa kerangka pembagian beban, jadwal, dan parameter pendanaan berbasis hibah, ketidakpastian akan terus menghantui implementasi,” katanya.
“Ilmu pengetahuan sudah jelas—tanpa referensi penghapusan fosil, target 1,5°C mustahil dicapai.”
Dari Jepang, Masayoshi Iyoda, aktivis 350.org, menyebut bahwa COP30 kembali menegaskan minimnya kontribusi Jepang terhadap target iklim global. “Jepang gagal melindungi rakyatnya dari risiko bencana iklim dan justru mempromosikan teknologi greenwashing,” ujarnya.
“Dengan proyek PLTU batu bara baru seperti GENESIS Matsushima, Jepang bergerak mundur.” Iyoda menekankan pentingnya peta jalan transisi adil yang berbasis ilmu pengetahuan, bukan investasi baru di sektor paling berpolusi.
Kegagalan COP30 merumuskan peta jalan penghentian fosil menegaskan bahwa tanggung jawab menjaga momentum transisi berada di tangan gerakan rakyat. 350.org Asia menyatakan bahwa dari komunitas pesisir hingga kota besar, tuntutan untuk penghapusan fosil akan terus menguat.
Gerakan iklim di kawasan ini berkomitmen meneruskan tekanan—bahwa setelah Belém, tidak ada ruang lagi bagi janji samar atau ambisi semu. (Hartatik)
Foto banner: 350.org


