Jakarta – Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa menyatakan bahwa mempertahankan PLTU batu bara akan membuat negara-negara ASEAN terjebak dalam siklus karbon yang sulit dipecahkan. Dikatakannya, ASEAN harus segera merencanakan transisi dari energi fosil, khususnya batubara, untuk menghindari risiko ekonomi dan lingkungan yang semakin besar.
Meskipun ASEAN Centre for Energy (ACE) merekomendasikan untuk tetap mempertahankan batu bara dengan teknologi Carbon Capture Storage (CCS) dan Carbon Capture Utilization and Storage (CCUS), IESR menyatakan bahwa langkah ini tidak efektif dan berisiko tinggi.
“Merekomendasikan teknologi (CCS dan CCUS), semata-mata untuk mempertahankan operasi PLTU dan melanggengkan ketergantungan sejumlah negara ASEAN untuk mengimpor batu bara merupakan saran yang tidak bijak. Implikasinya adalah terhambatnya akselerasi energi terbarukan yang lebih murah, terjangkau, dan rendah risiko untuk menurunkan emisi karbon dalam rangka mencegah kenaikan temperatur di atas 1,5°C,” ujar Fabby dalam keterangan tertulis, Kamis, 27 Juni.
Sejak 2017, impor batu bara negara Asia Tenggara naik dari 60 juta ton menjadi 120 juta ton. Polusi udara dari aktivitas PLTU berpotensi meningkatkan risiko angka kematian dini hingga 70.000 per tahun pada 2030.
Potensi besar energi terbarukan ASEAN
ASEAN memiliki potensi energi terbarukan sekitar 17 TW, cukup untuk memenuhi kebutuhan energi jika dikembangkan secara konsisten. Pengembangan energi terbarukan juga dapat membuka peluang investasi, meningkatkan daya saing di pasar internasional, menurunkan biaya produksi tenaga listrik, serta menurunkan kerugian ekonomi dan sosial akibat polusi udara.
Manajer Riset IESR, Raditya Wiranegara mengungkapkan, bahwa ASEAN perlu serius mengejar target pengembangan energi terbarukan dengan bauran energi terbarukan sebesar 57 persen pada 2030 dan 90-100 persen pada 2050.
“Manfaat ekonomi dari batubara akan tergerus seiring dengan berjalannya transisi energi yang mengedepankan energi terbarukan di berbagai negara. Komitmen pengakhiran operasional PLTU batubara secara dini dan terencana yang diambil AMS justru akan menarik investasi terhadap pengembangan energi terbarukan,” jelas Raditya.
Koordinator Proyek Diplomasi Iklim, Arief Rosadi, menyatakan bahwa pengembangan energi terbarukan di kawasan ASEAN lebih bermanfaat bagi perekonomian. Mengacu pada studi IESR, Asia Tenggara merupakan eksportir modul panel surya dengan kapasitas 64 GW pada tahun 2023. Vietnam, Malaysia, dan Thailand memproduksi sekitar 11 persen pasokan global. Dengan peningkatan permintaan PLTS di Asia Tenggara untuk mendukung transisi energi bersih, hal ini dapat memberikan kesempatan berkembangnya manufaktur rantai pasok sel dan modul surya di Indonesia untuk memasok permintaan di kawasan ini.
“Tren permintaan terhadap modul PLTS di kawasan Asia Tenggara semakin meningkat. Momentum tersebut dapat dimanfaatkan oleh negara ASEAN untuk menjadikan Asia Tenggara sebagai pusat rantai pasok PLTS (solar hub) regional dengan mempertimbangkan keunggulan ekonomi masing-masing negara,” menurutnya. (Hartatik)