IESR: Penurunan target bauran EBT dapat menguatkan dominasi energi fosil

Jakarta – Rancangan Peraturan Pemerintah Kebijakan Energi Nasional (RPP KEN) yang tengah dibahas DPR, menetapkan target bauran Energi Baru Terbarukan (EBT) pada 2025 turun dari sebelumnya 23 persen menjadi kisaran 17-19 persen. Dewan Energi Nasional (DEN) sedang mengkaji pembaruan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 79 Tahun 2014 tentang RPP KEN yang dijadwalkan selesai pada Juni 2024.

Keputusan menurunkan target EBT ini mendapat kritikan dari Institute for Essential Services Reform (IESR). IESR menilai penurunan target tersebut menandakan kelemahan komitmen untuk melakukan transisi energi dan mencerminkan dominasi kepentingan untuk mempertahankan energi fosil.

Lebih lanjut, IESR menganggap periode 2025 hingga 2030 seharusnya menjadi momentum penting untuk mempercepat transisi energi di Indonesia dengan mencapai target EBT lebih dari 40 persen dan mencapai puncak emisi sektor energi pada tahun 2030.

Menurut Direktur IESR Fabby Tumiwa, pencapaian bauran EBT yang ambisius pada dekade ini penting untuk menyelaraskan emisi gas rumah kaca Indonesia dengan target Persetujuan Paris. Lebih lanjut, keberhasilan mencapai target tersebut diharapkan dapat membawa manfaat jangka panjang seperti harga listrik yang lebih murah, daya tarik investasi dengan emisi rendah, pertumbuhan industri manufaktur, dan penciptaan lapangan kerja dari sektor energi terbarukan.

IESR juga merinci bahwa keterlambatan mencapai target bauran EBT sebesar 38-40 persen pada 2040 dapat mengurangi manfaat besar dari pengembangan energi terbarukan, termasuk harga listrik yang lebih terjangkau dan daya tarik investasi asing. “Ada ketidaksesuaian target DEN dengan kesepakatan Just Energy Transition Partnership (JETP) yang menargetkan 44 persen bauran EBT pada 2030,” ungkap Fabby.

Pembangkit nuklir menjadi solusi EBT?

Fabby menekankan bahwa penetapan target yang rendah ini meragukan kredibilitas arah kebijakan transisi energi Indonesia di mata investor internasional. IESR juga mempertanyakan strategi dalam RPP KEN terkait pengoperasian PLTN pada 2032 dan penggunaan CCS/CCUS pada PLTU yang masih beroperasi pada 2060, yang dianggap belum didasarkan pada kelayakan teknis dan ekonomis di Indonesia saat ini.

Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo menambahkan bahwa fokus mitigasi emisi gas rumah kaca di sektor energi seharusnya lebih tertuju pada pembangunan teknologi energi terbarukan dan penyimpanan energi yang sudah terbukti kompetitif.

Ia menyoroti bahwa PLTS dan PLTB dapat dibangun dengan cepat, sehingga perlu diperhatikan bagaimana mempersiapkan proyek-proyek investasi dan proses pengadaan di PLN

Deon menuturkan Indonesia akan terbeban dengan biaya penerapan CCS pada PLTU yang mahal, biaya operasional yang rentan volatilitas serta tidak berkelanjutan. Sedangkan pembangunan PLTN menjadi antiklimaks di tengah menurunnya kapasitas PLTN dunia setelah tragedi nuklir di Fukushima.

“Pada dekade ini, seharusnya strategi mitigasi emisi GRK Indonesia pada sektor energi dapat difokuskan pada pembangunan teknologi energi terbarukan dan energy storage yang sudah terbukti dapat menyediakan energi dengan biaya kompetitif,” kata Deon. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles