Jakarta – Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA) dalam analisis terbarunya mengungkap bahwa ketergantungan terhadap gas berpotensi membebani keuangan negara milyaran dolar selama satu dekade ke depan.
“Ketergantungan terus-menerus pada bahan bakar fosil seperti gas dapat merugikan Indonesia sekitar USD60 miliar dari tahun 2025 hingga 2034,” tulis Mutya Yustika, Energy Finance Specialist IEEFA dalam briefing note, Senin, 23 Juni.
Rencana penambahan Pembangkit Listrik Tenaga Gas (PLTG) sebesar 10,5 gigawatt (GW) dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2025–2034 dinilai berisiko menimbulkan krisis keuangan jangka panjang bagi Indonesia.
Data IEEFA menunjukkan bahwa saat ini biaya pembangkitan listrik telah mencapai Rp1.732/kWh, sementara tarif rata-rata yang dibayarkan oleh konsumen hanya Rp1.153/kWh, selisih yang ditutupi lewat subsidi dan kompensasi pemerintah. Pada tahun 2024, alokasi subsidi dan kompensasi untuk PLN bahkan mencapai Rp177 triliun, naik 24% dibandingkan tahun sebelumnya.
Mutya mengingatkan, jika proyek PLTG tambahan terus dilanjutkan sesuai rencana RUPTL, maka biaya pembangkitan listrik nasional bisa berlipat ganda pada 2034, yang akan menambah tekanan pada anggaran negara atau konsumen.
Pasar gas global masih belum stabil, dengan lonjakan harga yang sering terjadi yang secara historis membuat gas dua kali lebih mahal daripada batu bara, sebagaimana tercermin dalam laporan keuangan PLN. “Jika Indonesia melanjutkan perluasan infrastruktur gas skala besar lainnya, Indonesia berisiko terjebak dalam komitmen keuangan jangka panjang,” katanya.
Kapasitas PLTG tak optimal, sumber terbarukan unggul
IEEFA menyoroti bahwa banyak PLTG yang dibangun sejak 2018 tidak dimanfaatkan secara optimal. Dari 6,3 GW kapasitas tambahan PLTG, utilisasi pada 2023 hanya mencapai 30%. Faktor seperti tingginya harga gas dan keterbatasan pasokan disebut menjadi penghambat.
Sebaliknya, teknologi energi terbarukan seperti tenaga surya dan angin menunjukkan performa lebih baik. Surya di Indonesia beroperasi dengan kapasitas 20%, sementara angin mencapai 44% — keduanya melampaui rata-rata global. Ironisnya, RUPTL 2025–2029 justru mengalokasikan 45% atau 12,7 GW kapasitas tambahan ke bahan bakar fosil, dengan 9,3 GW di antaranya untuk gas.
Energi bersih memacu perluasan ekonomi dan daya saing industri di negara lain. Sementara itu, ketergantungan Indonesia pada batu bara membatasi kemampuannya untuk menarik investasi hijau dan mendorong ekonomi rendah karbon.
Risiko iklim dan investasi
IEEFA mengingatkan bahwa pilihan untuk memperbesar ketergantungan pada energi fosil akan berdampak tidak hanya secara fiskal, tetapi juga reputasi. Indonesia, yang ingin menarik investasi energi bersih dan menjadi pemain kunci di Asia Tenggara, justru mengirim sinyal bertolak belakang ke investor global.
Sebuah survei yang dilakukan oleh Beyond Fossil Fuels, E3G dan We Mean Business Coalition baru-baru ini menemukan bahwa sebagian besar pemimpin bisnis akan mempertimbangkan untuk merelokasi operasi jika energi terbarukan yang cukup tidak tersedia. IEEFA menyerukan agar pemerintah mengalihkan fokus ke sumber energi terbarukan yang skalabel dan semakin kompetitif, seperti surya dan angin. Hal ini akan memperkuat posisi Indonesia secara ekonomi, meningkatkan ketahanan energi, dan mengurangi ketergantungan pada volatilitas harga gas global.
Mutya menggarisbawahi, bahwa lima tahun pertama penerapan RUPTL ini adalah periode krusial. Bila Indonesia serius dengan transisi energi, fokusnya harus berpindah dari gas ke pembangkit terbarukan yang lebih murah dan rendah risiko. (Hartatik)
Foto banner: Sander van der Werf/shutterstock.com