Maluku Utara klaim nikel terbaik di dunia, Greenpeace desak setop rusak lingkungan

Jakarta – Greenpeace Indonesia menggelar aksi pada acara Indonesia Critical Minerals Conference & Expo 2025 (ICMCE 2025) di Jakarta, Selasa, 3 Juni, dengan membentangkan spanduk bertuliskan: “What’s the True Cost of Your Nickel?” dan “Nickel Mines Destroy Lives”.

ICMCE 2025 adalah ajang pertemuan pengusaha di sektor pertambangan dan energi di Asia Tenggara, dan bertujuan untuk mempertemukan lebih dari 1.600 perwakilan senior, lebih dari 100 pembicara, dan lebih dari 40 peserta pameran dari seluruh dunia.

Pemerintah dan pelaku industri membanggakan kualitas nikel dari Maluku Utara sebagai yang terbaik di dunia, tapi Greenpeace mengatakan bahwa industrialisasi nikel telah membawa konsekuensi serius bagi ekosistem dan masyarakat lokal, termasuk di wilayah Papua yang kini terancam tambang.

“Transisi energi seharusnya tidak dibayar dengan hancurnya hutan dan laut, atau hilangnya mata pencaharian masyarakat adat. Ini bukan keadilan iklim, ini ironi,” tegas Iqbal Damanik, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia.

Maluku Utara klaim nikel terbaik di dunia

Gubernur Maluku Utara, Sherly Tjoanda, dalam forum yang sama menegaskan bahwa wilayahnya menghasilkan nikel dengan kualitas terbaik secara global.

“Nikel dari Maluku Utara memiliki kandungan saprolit dan limonit yang sangat tinggi, serta sangat stabil untuk produksi bahan kimia, termasuk bahan baku baterai kendaraan listrik. Saya bisa katakan, ini salah satu yang terbaik di dunia,” ujar Sherly.

Ia menambahkan bahwa Maluku Utara bukan hanya produsen nikel, melainkan sedang menuju menjadi pusat produksi nikel sulfat kelas baterai berskala besar satu-satunya di Indonesia.

“Kami tengah menata industrialisasi nikel secara berkelanjutan, membangun industri hijau, dan menciptakan pemerintahan yang adil secara sosial. Semua ini untuk kesejahteraan masyarakat Maluku Utara,” tambahnya.

Data Kementerian ESDM menyebut, hilirisasi di Maluku Utara telah menarik investasi sebesar Rp 55 triliun selama Januari–September 2024. Dampaknya, pertumbuhan ekonomi provinsi ini mencapai 20,49% pada 2023, tertinggi secara global.

Greenpeace: “Raja Ampat dalam bahaya”

Namun di balik narasi pertumbuhan dan keberlanjutan itu, Greenpeace menyoroti kerusakan yang ditimbulkan dari perluasan tambang nikel, termasuk di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya—wilayah yang dijuluki sebagai “surga terakhir di Bumi.”

“Tambang nikel telah membabat lebih dari 500 hektare hutan di Pulau Gag, Kawe, dan Manuran. Kami melihat langsung sedimentasi akibat pengerukan tanah yang mencemari laut. Ini terjadi di pulau-pulau kecil yang seharusnya dilindungi oleh UU No. 1 Tahun 2014,” ungkap Iqbal.

Pulau-pulau lain seperti Batang Pele dan Manyaifun, yang hanya berjarak 30 kilometer dari ikon wisata Piaynemo, juga disebut terancam tambang.

Ronisel Mambrasar, pemuda Papua dari kampung Manyaifun, menyampaikan keresahannya: “Tambang nikel mengubah hidup kami. Laut yang jadi sumber hidup kami terancam. Hubungan sosial kami pun terganggu. Pemerintah harus dengar suara rakyat kecil sebelum semuanya terlambat.”

Greenpeace mengingatkan bahwa Raja Ampat adalah kawasan global geopark yang menjadi rumah bagi 75% spesies karang dunia dan lebih dari 2.500 spesies ikan, serta ratusan jenis burung dan mamalia endemik.

Desakan penghentian industrialisasi nikel yang merusak

Greenpeace Indonesia secara tegas meminta pemerintah mengkaji ulang arah kebijakan hilirisasi nikel yang dianggap telah memperburuk krisis ekologis dan sosial.

“Industri nikel selama ini menggunakan PLTU batu bara sebagai sumber energi. Ini bertolak belakang dengan tujuan transisi energi yang berkeadilan. Apalagi, investasi besar justru kerap mengabaikan keterlibatan pelaku usaha lokal,” kata Iqbal.

Organisasi ini juga mendesak pemerintah Prabowo-Gibran untuk menghentikan sesumbar soal hilirisasi nikel, dan memulai dialog serius soal keadilan lingkungan dan perlindungan masyarakat adat.

“Kami tidak menolak transisi energi, tapi kami menolak transisi yang dibangun di atas penderitaan manusia dan kerusakan alam,” tutup Iqbal. (Hartatik)

Foto banner: Aktivis Greenpeace Indonesia membentangkan banner bertuliskan “Nickel Mines Destroy Lives” (Tambang Nikel Menghancurkan Kehidupan) saat Wakil Menteri Luar Negeri Arief Havas Oegroseno memberikan sambutan di acara Indonesia Indonesia Critical Minerals Conference 2025, Selasa (3/6). (Sumber foto: Greenpeace)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles