Jakarta – Trend Asia membantah klaim netral karbon dari program co-firing biomassa yang dipromosikan oleh PLN, sebaliknya berpotensi menjadi kedok greenwashing bagi industri batubara dan kehutanan, dengan emisi karbon yang signifikan dan ancaman deforestasi yang besar.
Sebuah studi Trend Asia menemukan bahwa klaim netral karbon dari program co-firing tidak berdasar.
Emisi karbon tetap dihasilkan dari deforestasi yang digunakan untuk Hutan Tanaman Energi (HTE) dan pembakaran biomassa.
Menurut PLN, sepanjang tahun 2023, PLN telah menyerap biomassa sebanyak 1 juta ton untuk 43 PLTU yang tersebar di tanah air. Angka ini tumbuh lebih dari 71% dibandingkan realisasi serapan biomassa tahun 2022 yang sebesar 585 ribu ton. Secara bersamaan, PLN terus melakukan uji coba teknologi ini hingga tahun 2025 agar 52 PLTU di Indonesia bisa seluruhnya menggunakan co-firing.
Ancaman deforestasi dan konflik lahan
Sementara itu, kajian Trend Asia tersebut menunjukkan kebutuhan lahan seluas 2,33 juta hektare untuk HTE, setara 35 kali luas Jakarta, demi menyuplai PLTU co-firing. Hal ini akan memicu deforestasi dan konflik lahan.
Manajer Program Biomassa Trend Asia, Amalya Reza Oktaviani, mengatakan bahwa transisi energi melalui biomassa kayu adalah aksi greenwashing yang menguntungkan korporasi batubara dan kehutanan. Emisi dari biomassa menunjukkan bahwa biomassa bukan pilihan untuk transisi energi bersih.
“Ini merupakan kesempatan bagi korporasi untuk melakukan ekspansi dan memperbesar ketimpangan penguasaan lahan. Transisi energi harusnya mengeksklusi solusi palsu seperti biomassa dan mendorong energi terbarukan dari komunitas,” kata Amalya.
Data deforestasi dan perizinan
Data Forest Watch Indonesia (FWI) menunjukkan 420 ribu ha hutan alam yang rencananya akan dirusak untuk HTE di 31 konsesi. Kalimantan Selatan ditargetkan dengan izin baru 76.567 ha hutan tanaman, dan FoLU Net Sink 2030 mengancam 397.511 ha hutan alam di Kalimantan Selatan.
Manajer Manager Kampanye Advokasi dan Media FWI, Anggi Putra Prayoga menyampaikan bahwa pengembangan hutan tanaman termasuk HTE cenderung memicu deforestasi. Keberadaan hutan semestinya dijaga mengingat berperan vital dalam penyerapan karbon untuk mencapai net sink di tahun 2030.
“Strategi pengurangan emisi melalui pengembangan Hutan Tanaman Energi untuk memenuhi kebutuhan produksi biomassa kayu justru akan mendorong terjadinya deforestasi hutan alam secara besar-besaran,” ungkap Anggi.
Lebih lanjut untuk mencapai target net sink 2030 dari sektor FoLU (hutan dan penggunaan lahan) seharusnya membangun strategi mitigasi perlindungan hutan alam yang dapat diakui oleh berbagai pihak. Salah satunya dengan menghentikan pengembangan hutan tanaman termasuk HTE .
Sebaliknya, Kementerian LHK justru memberikan kemudahan perizinan perusahaan berupa 9 “karpet merah” pengadaan tanah untuk HTE, sehingga mendorong deforestasi dari ekspansi perusahaan kehutanan.(Hartatik)