Jakarta – Asisten Program dan Penelitian Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan The Prakarsa, Ricko Nurmansyah, mengatakan bahwa hasil penelitiannya menunjukkan adanya dampak negatif industri nikel terhadap pembiayaan transisi energi berkeadilan. Menurutnya, meskipun pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di sektor tambang dan smelter naik, penurunan kemiskinan dan pengangguran tidak proporsional.
“Industri hulu nikel, yaitu tambang dan smelter di beberapa tempat yang ditemukan berdampak negatif pada lingkungan dan aspek hak asasi manusia (HAM), termasuk kerja layak,” tambahnya. Dalam diskusi berlangsung daring, berjudul “Menakar Masa Depan Transisi Energi yang Berkeadilan di Kawasan Industri Berbasis Nikel,” Ricko memaparkan hasil penelitiannya yang berjudul “Mempertanyakan Komitmen Bank Dalam Pembiayaan Transisi Energi Yang Berkeadilan: Studi Kasus Eksploitasi Nikel di Indonesia.”
Menurut data Badan Geologi pada 2020, Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, mencapai 52 persen atau sekitar 72 juta ton nikel.
Dalam penelusuran aliran pembiayaan, Ricko menekankan perlunya menginformasikan dampak dari pembiayaan tersebut kepada bank. “Dengan demikian pihak bank dapat memperbaiki praktik keuangan berkelanjutan,” ungkapnya. Dia juga mengungkapkan bahwa belum ada informasi terkait aliran pembiayaan ke industri hulu nikel yang dilakukan oleh bank.
Menyoroti keterlibatan lembaga keuangan dalam pembiayaan industri nikel, Ricko mengatakan, latar belakang dimulai dengan bagaimana nikel menjadi salah satu mineral penting dalam energi terbarukan dan juga masuk ke dalam road map hilirisasi dalam Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) itu sendiri.
Dalam penelitian ini, The Prakarsa menggunakan studi literatur, analisis konten media massa, dan penelusuran aliran keuangan dengan menggunakan prinsip “follow the money.” Meskipun Ricko mengakui keterbatasan dalam akses terhadap aliran keuangan, ia menyatakan bahwa pendekatan tersebut memberikan gambaran yang cukup komprehensif terkait pembiayaan industri nikel di Indonesia.
Terkait posisi nikel Indonesia sebagai bahan baku kendaraan listrik, dikatakannya meskipun ada upaya produksi nikel sulfat di Indonesia pada 2023, sebagian besar ekspor nikel masih dalam bentuk bahan dasar pembuatan stainless steel, terutama ke China. “Nikel yang dibutuhkan untuk bahan baku kendaraan listrik saat ini adalah nikel sulfat. Dan ternyata nikel sulfat itu sendiri, kita belum bisa memproduksi sampai tahun 2022,” jelasnya. (Hartatik)