Jakarta – Meskipun Indonesia memiliki potensi besar dalam produksi bioavtur berbasis kelapa sawit, penerapannya masih menghadapi berbagai tantangan, terutama dari segi harga dan penyesuaian dengan standar internasional, jelas pejabat Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
Dirjen Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM, Eniya Listiani Dewi, menjelaskan bahwa meski pasokan bioavtur sangat melimpah, terutama yang berbasis minyak kelapa sawit, penggunaannya sebagai bahan bakar pesawat masih terkendala oleh harga yang tinggi.
“Indonesia masih harus mengkaji berbagai formula untuk mensiasati mahalnya penggunaan produksi bioavtur sebagai bahan bakar pesawat,” ujar Eniya dalam keterangan resmi, Jumat, 5 Juli.
Pemerintah sendiri, telah mendorong Pertamina untuk memproduksi bioavtur secara mandiri dan menjalin kerjasama dengan pabrikan pesawat terbang seperti Airbus dan Boeing. “Itu nanti diuji di sistem aviation-nya. Kalau itu sesuai dengan standar, kan ada patokan international standard,” kata Eniya.
Menurutnya, salah satu solusi yang tengah dikaji pemerintah adalah bagaimana menanggung biaya tinggi tersebut. “Pemerintah sedang melakukan kajian apakah perlu dibebankan kepada para penumpang pesawat, seperti yang diterapkan di Singapura,” tambah Eniya.
Selain minyak kelapa sawit, pemerintah juga mempertimbangkan bahan baku lain untuk memproduksi bioavtur, seperti minyak jelantah. “Dalam roadmapnya Kemenko Marves sudah ada, dan itu palm based dulu, baru nanti proses ke used cooking oil. Kita sebetulnya punya used cooking oil banyak banget, tapi belum terkontrol,” jelas Eniya.
Penggunaan bioavtur diyakini dapat mengurangi emisi karbon hingga 80% dibandingkan avtur konvensional, sehingga dapat mengurangi dampak lingkungan dari industri penerbangan yang merupakan salah satu penyumbang terbesar emisi gas rumah kaca.
Pertamina telah melakukan uji terbang bioavtur yang diproduksi di kilang Cilacap. Bioavtur tersebut, bernama Pertamina SAF J2.4, telah melalui proses uji terbang pada pesawat militer CN-235 milik PT Dirgantara Indonesia dan kemudian diuji pada pesawat komersial Boeing 737-800 NG milik PT Garuda Indonesia pada 4 Oktober 2023.
Uji coba ini berhasil tanpa kendala berarti, sehingga bioavtur kemudian digunakan secara komersial pada rute penerbangan Jakarta-Solo dan Solo-Jakarta pada 27 Oktober lalu.
“Untuk penerbangan satu kali rute Solo-Jakarta menggunakan pesawat Boeing 737-800 NG diperlukan bioavtur sebanyak 4 kiloliter,” ungkap Eniya.
Penerapan bioavtur di Indonesia masih memerlukan berbagai penyesuaian dan dukungan dari berbagai pihak agar dapat berjalan efektif dan efisien, mengingat potensi besar yang dimiliki Indonesia dalam memproduksi bahan bakar nabati ini. (Hartatik)