SUSTAIN: Pensiun dini batu bara tak perlu tunggu hibah asing, tingkatkan pungutan batu bara

Jakarta – Hasil kajian Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN) menunjukkan bahwa pemerintah tidak perlu bergantung pada hibah asing untuk mendanai pensiun dini Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis batu bara, menurut yayasan ini dalam siaran pers, Kamis, 6 Februari.

Analisis SUSTAIN menunjukkan bahwa kenaikan pungutan batu bara dapat menambah penerimaan negara hingga Rp 353,7 triliun per tahun. Dana ini cukup untuk mendanai pensiun dini PLTU, peningkatan jaringan listrik, serta investasi di energi terbarukan, tanpa harus menunggu bantuan lembaga donor atau negara lain.

Direktur Eksekutif SUSTAIN, Tata Mustasya meyakini bahwa peningkatan pungutan produksi batu bara mampu menjadi sumber pendanaan yang cukup besar untuk mempercepat transisi energi dan mendukung pengembangan energi terbarukan di Indonesia.

“Pemerintah sebenarnya memiliki opsi pendanaan yang lebih mandiri. Dengan menaikkan pungutan produksi batu bara, Indonesia bisa memperoleh tambahan penerimaan negara sebesar USD 5,63 miliar hingga USD 23,58 miliar per tahun. Ini jumlah yang lebih dari cukup untuk menutup PLTU secara bertahap,” katanya.

Saat ini, upaya pensiun dini PLTU di Indonesia menghadapi kendala utama berupa pendanaan. Namun, menurut Tata, jika pungutan batu bara dinaikkan, dana yang terkumpul dapat dialokasikan untuk menutup PLTU tua dan tidak efisien, membangun jaringan listrik yang mendukung energi terbarukan mendorong investasi pada Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), tenaga angin, dan hidro skala kecil.

Penutupan PLTU Cirebon 1 membutuhkan paket pembiayaan sekitar USD 230 juta hingga USD 300 juta atau setara dengan Rp 3,45 triliun – Rp 4,5 triliun. Sementara itu, PLN juga memerlukan dana sekitar USD 1,3 miliar (Rp 19,5 triliun) untuk meningkatkan jaringan listrik agar mampu mengakomodasi energi terbarukan.

Dengan estimasi minimal Rp 84,55 triliun yang bisa diperoleh dari pungutan batu bara, pensiun dini PLTU dan peningkatan infrastruktur energi terbarukan dapat dilakukan lebih cepat dan efektif.

“Ini bukan hanya soal menutup PLTU, tapi juga membangun sistem energi yang lebih bersih dan andal. Kenaikan pungutan produksi batu bara bisa menjadi solusi yang lebih pasti dibanding menunggu hibah yang jumlahnya terbatas,” ujar Tata.

Menolak biomassa sebagai solusi palsu

Selain memastikan pendanaan pensiun dini PLTU dan investasi energi terbarukan, pemerintah juga didorong untuk menghindari skema co-firing PLTU dengan biomassa.

Menurut Ahmad Ashov Birry, Direktur Program Trend Asia, co-firing dengan biomassa bukanlah solusi yang benar-benar hijau, karena masih menghasilkan emisi karbon yang tinggi dan berpotensi menyebabkan deforestasi serta alih fungsi lahan.

“Mengganti batu bara dengan biomassa tidak menyelesaikan masalah. Justru, ini bisa menambah emisi dan merugikan negara dalam jangka panjang. Pemerintah sebaiknya lebih fokus pada energi bersih seperti PLTS, tenaga angin, dan hidro skala kecil,” tegas Ahmad.

Dengan sumber pendanaan yang jelas dari peningkatan pungutan batu bara, pemerintah tidak perlu lagi menunggu hibah atau pinjaman asing untuk mendanai transisi energi.

Pendekatan ini bukan hanya memungkinkan pensiun dini PLTU yang lebih cepat, tetapi juga mengamankan investasi untuk jaringan listrik dan pengembangan energi terbarukan. Dengan strategi yang tepat, Indonesia bisa membangun sistem energi yang lebih berkelanjutan, mandiri, dan ramah lingkungan tanpa harus bergantung pada dana luar negeri. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles