Jakarta – Para pengamat kebijakan energi menilai strategi pemerintah mendorong energi surya sebagai pengurang subsidi listrik sudah sejalan dengan transisi menuju energi bersih, dengan satu syarat utama: biaya listrik tenaga surya harus lebih murah dibandingkan pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara.
Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (SUSTAIN), Tata Mustasya, Senin, 22 September mengatakan bahwa walau inisiatif Kemenkeu tersebut tepat sasaran, namun realisasinya sangat bergantung pada daya saing biaya energi surya.
“Pengurangan subsidi listrik lewat energi surya hanya bisa dilakukan bila biaya pembangkitannya di bawah PLTU batubara, yang saat ini masih menyumbang 60 persen listrik nasional,” kata Tata.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat subsidi energi sebesar Rp177,62 triliun pada 2024, naik 8,1% dari tahun sebelumnya. Dari jumlah tersebut, Rp75,8 triliun atau 42,7% dialokasikan untuk subsidi listrik, menjadi porsi terbesar kedua setelah BBM.
Tata menambahkan, kapasitas terpasang energi surya di Indonesia masih berjalan lambat. Dalam lima tahun terakhir, peningkatannya hanya 753,8 MW, jauh dari target masuk ke level gigawatt (GW).
Empat syarat percepatan energi surya
Menurut SUSTAIN, ada empat kebijakan prioritas yang perlu segera diambil agar energi surya bisa menekan subsidi listrik dan bersaing dengan PLTU. Pertama insentif PLTS, Kemenkeu dan Kementerian ESDM perlu memberi insentif untuk pembangkit surya di sektor industri, bisnis, maupun rumah tangga. Tata mencontohkan insentif kendaraan listrik (EV) terbukti mempercepat penetrasi pasar. PwC mencatat, penjualan EV di Indonesia naik dari 9% (2023) menjadi 15% (2024), dan diproyeksikan 29% pada 2030.
Kedua dorong PLTS Daerah. Saat ini hanya Bali dan Jakarta yang memiliki regulasi daerah untuk energi surya. Perluasan ke daerah lain akan menciptakan skala keekonomian dan menurunkan biaya.
Ketiga integrasi dengan Industri Lokal. Pengembangan energi surya harus terhubung dengan industri panel surya dan baterai dalam negeri. SUSTAIN mencatat potensi pendanaan dari Belt and Road Initiative (BRI) milik Tiongkok, dengan total investasi energi USD900 juta pada 2023. Jika seluruh alokasinya dialihkan ke energi terbarukan, Indonesia berpotensi mendapat Rp14,4 triliun per tahun.
Kempat pembangunan Smart Grid. Infrastruktur jaringan pintar diperlukan agar PLTS bisa berkembang masif. Biayanya diperkirakan USD19,6 miliar, yang bisa diperoleh dari pungutan produksi batu bara.
SUSTAIN juga menekankan bahwa percepatan PLTS tak hanya soal energi bersih, tetapi juga penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan RUPTL 2025–2034, proyek PLTS berpotensi menciptakan 348.057 green jobs di Indonesia.
“Grid adalah kunci, insentif adalah pemicu, dan industri lokal adalah fondasi. Kalau ketiganya berjalan, energi surya bisa menekan subsidi listrik sekaligus membawa manfaat ekonomi baru,” tegas Tata. (Hartatik)
Foto banner: liyuhan/shutterstock.com


