Studi: Registri karbon Indonesia harus diperkuat agar dapat bersaing secara global

Jakarta — Sistem Pendaftaran Karbon Nasional (SRN) Indonesia harus segera memperkuat standar teknis, infrastruktur digital, dan koordinasi kelembagaan agar dapat memperoleh pengakuan global dan membuka potensi pasar karbon kehutanan yang besar di negara ini, menurut sebuah studi terbaru.

Penelitian berjudul “Advancing Mutual Recognition Agreements (MRAs) between Indonesia’s SRN and international standards to expand forestry carbon credits in VCMs” yang diterbitkan dalam jurnal Trees, Forests and People, pada 15 September 2025, menemukan bahwa pembentukan MRAs antara SRN Indonesia dan standar internasional utama seperti Verra, Gold Standard, dan ART-TREES merupakan kunci untuk menyelaraskan tata kelola karbon negara dengan norma global.

Para penulis menyimpulkan bahwa MRAs dapat mengubah kredit karbon kehutanan Indonesia menjadi aset global yang kredibel dengan memfasilitasi “sertifikasi ganda” dan interoperabilitas pendaftaran, sambil tetap mempertahankan kedaulatan nasional atas aset karbon.

Penulis utama Riko Wahyudi dan rekan-rekannya dari Universitas Indonesia dan Jaringan Ahli Perubahan Iklim dan Kehutanan Indonesia (APIK Indonesia) menekankan bahwa kesuksesan pasar karbon Indonesia bergantung pada “pembelajaran adaptif melalui proyek percontohan, tata kelola yang transparan, dan keterlibatan pemangku kepentingan yang berkelanjutan.”

Jika diterapkan dengan efektif, studi ini menyimpulkan, MRAs dapat menjadikan Indonesia tidak hanya sebagai penyedia karbon hutan yang kredibel tetapi juga sebagai pemimpin regional dalam mengintegrasikan kebijakan iklim nasional dengan mekanisme pasar karbon internasional.

Temuan utama

Makalah ini menekankan bahwa meskipun Sistem Registrasi Nasional (SRN) memainkan peran penting dalam komitmen iklim Indonesia, sistem ini masih secara teknis kurang berkembang dan secara institusional terfragmentasi. Studi ini menemukan bahwa kerangka metodologis SRN masih terbatas pada prinsip-prinsip umum tanpa alat operasional yang rinci, yang mengakibatkan verifikasi yang tidak konsisten di antara proyek-proyek. Sistem validasi dan verifikasi (V&V) SRN lebih berfokus pada kelengkapan administratif daripada ketelitian ilmiah, yang melemahkan kredibilitas secara keseluruhan.

Di bidang digital, pendaftaran tersebut tidak memiliki kapasitas untuk mendukung pertukaran data lintas batas atau interoperabilitas dengan sistem internasional seperti Verra. Koordinasi antarlembaga juga tidak merata: setelah restrukturisasi yang memisahkan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan, tanggung jawab regulasi menjadi tidak jelas. Di tingkat subnasional, kesiapan masih minim, dengan hanya Kalimantan Timur dan Jambi yang mengembangkan garis dasar provinsi yang sesuai untuk kredit yurisdiksi.

Meskipun adanya batasan-batasan ini, para pemangku kepentingan—mulai dari pejabat pemerintah hingga pengembang swasta dan LSM—memandang MRAs sebagai jalur strategis untuk memulihkan kepercayaan pasar dan membuka akses ke pasar karbon sukarela (VCMs).

Rekomendasi kebijakan

Untuk mempercepat kesiapan Indonesia dalam integrasi pasar karbon internasional, studi ini menguraikan lima tindakan prioritas. Studi ini mendorong pelaksanaan proyek percontohan berdasarkan standar internasional seperti Verra, Gold Standard, dan ART-TREES, dengan validasi ganda melalui SRN untuk menguji kesesuaian metodologi dan memastikan interoperabilitas pendaftaran. Para penulis menekankan perlunya mengklarifikasi mandat institusional antara Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) dan Kementerian Kehutanan (KK) untuk menghindari tumpang tindih regulasi dan kebingungan.

Kajian ini juga merekomendasikan pembentukan mekanisme insentif, termasuk tarif yang lebih rendah dan proses verifikasi yang dipercepat, untuk menarik proyek-proyek berkualitas tinggi untuk mendaftar di bawah sistem nasional. Peningkatan keterlibatan subnasional dan komunitas merupakan prioritas utama lainnya—ini berarti melibatkan pemerintah daerah, komunitas adat, dan mengintegrasikan jaminan sosial dalam MRAs. Akhirnya, studi ini mendesak partisipasi sektor swasta dalam tata kelola dan pembentukan kebijakan MRAs, memastikan bahwa efisiensi, inovasi, dan daya saing pasar menjadi bagian integral dari kerangka tata kelola karbon Indonesia.

Pada tanggal 10 Oktober 2025, Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Presiden Nomor 110 Tahun 2025 tentang Pelaksanaan Instrumen Nilai Ekonomi Karbon dan Pengendalian Emisi Gas Rumah Kaca Nasional, yang bertujuan untuk memperjelas aturan, meningkatkan infrastruktur digital, dan mempercepat integrasi negara dengan pasar karbon internasional. Pemerintah mengatakan tujuan regulasi ini adalah menyederhanakan regulasi yang selama ini dianggap rumit dan berbelit. (nsh)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)

Update: 20 Okt. 2025, 19.51 – merevisi Judul paper dan nama jurnal

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles