Studi: Kapasitas PLTU captive Indonesia diproyeksikan akan lampaui Australia tahun 2026

oleh: Hartatik

Jakarta – Kapasitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive di Indonesia diproyeksikan mencapai 26,24 gigawatt (GW) pada tahun 2026, melampaui total kapasitas PLTU Australia yang saat ini berada di angka 22,9 GW. Temuan ini berasal dari laporan terbaru yang dirilis oleh Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) dan Global Energy Monitor (GEM) berjudul “Tracing Indonesia’s Captive Power Growth: No Sign of Slowdown in 2024”.

Dalam kurun waktu lima tahun terakhir, kapasitas PLTU captive di Indonesia meningkat tajam, dari 5,7 GW pada 2019 menjadi 15,2 GW pada Juli 2024. Kenaikan ini setara dengan peningkatan hampir tiga kali lipat. Kapasitas diperkirakan mencapai 17,1 GW pada akhir 2024, dengan tambahan 11,04 GW yang masih dalam tahap pengembangan.

“Pertumbuhan kapasitas PLTU captive di Indonesia sangat signifikan, dan menunjukkan tidak ada tanda-tanda perlambatan hingga tahun 2026,” ujar Katherine Hasan, Analis Senior di CREA, Senin, 11 November. “Peningkatan ini terutama didorong oleh industri padat energi seperti logam, pulp dan kertas, kimia, semen, serta tekstil.”

Penolakan keras pembangunan PLTU captive baru

Sejumlah organisasi lingkungan hidup dan energi mengecam keras kebijakan pemerintah yang membuka peluang bagi pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) captive baru, terutama di kawasan industri. Padahal, pemerintah telah berkomitmen untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan mencapai target net-zero emission pada tahun 2060.

Kebijakan tersebut tertuang dari Pasal 3 Ayat 4 huruf b dalam Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan. Mereka menilai pasal tersebut sebagai langkah mundur dalam upaya Indonesia mencapai target transisi energi bersih.

Direktur Satya Bumi, Andi Muttaqien, menyoroti potensi dampak negatif dari kebijakan tersebut. Menurutnya, pembangunan PLTU captive baru, terutama di daerah-daerah yang tidak memiliki sumber daya batu bara, akan memperpanjang ketergantungan pada energi fosil dan meningkatkan emisi polusi.

“Ini tidak logis dan kontraproduktif,” ujar Andi.“Pemerintah seharusnya fokus pada pengembangan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.”

Sebagian besar PLTU captive ini digunakan oleh industri logam, terutama untuk memenuhi kebutuhan energi peleburan nikel. Antara tahun 2023 dan 2024, kapasitas PLTU captive di Sulawesi Tengah meningkat dari 2,86 GW menjadi 5,19 GW, sedangkan di Maluku Utara meningkat dari 1,87 GW menjadi 4,02 GW. Diperkirakan kapasitas ini akan terus bertambah hingga mencapai 3,16 GW di Sulawesi Tengah dan 3,02 GW di Maluku Utara pada tahun 2026.

“Permintaan energi dari industri pengolahan nikel sangat besar, dan ini menjadi salah satu pendorong utama peningkatan kapasitas PLTU captive,” kata Lucy Hummer, Peneliti GEM.

Peta jalan pensiun PLTU captive

Laporan CREA dan GEM menyoroti perlunya peta jalan yang jelas untuk pensiun dini PLTU captive sebagai bagian dari rencana nasional transisi energi Indonesia. Hal ini sejalan dengan target pemerintah dalam mencapai dekarbonisasi, serta menarik investasi pada energi terbarukan.

“Mengurangi ketergantungan pada batu bara di sektor industri bukan hanya tantangan ketenagalistrikan, tetapi juga bagian dari strategi transisi energi Indonesia,” ujar Lucy Hummer. “Sebagai salah satu pemasok utama mineral penting bagi rantai pasokan energi bersih global, Indonesia perlu mempercepat integrasi energi terbarukan dalam rencana nasionalnya.”

Dengan potensi energi terbarukan yang melimpah dan dukungan dari kemitraan iklim global seperti JETP, Indonesia memiliki kapasitas untuk beralih dari PLTU captive dan memimpin upaya dekarbonisasi industri di kawasan Asia Tenggara.

“Penggunaan PLTU captive berbahan bakar batu bara justru meningkatkan risiko emisi karbon, bertentangan dengan komitmen iklim global yang telah disepakati dalam kemitraan transisi energi berkeadilan atau JETP,” menurut Lucy.

Menurutnya, “Kemitraan iklim seperti JETP menawarkan peluang untuk mendorong investasi pada energi bersih dan meningkatkan daya saing Indonesia di pasar global … Namun, ini hanya bisa terwujud jika Indonesia mengambil langkah tegas dalam pensiun dini PLTU captive dan beralih ke energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan.”

Potensi Indonesia dalam memimpin dekarbonisasi global

CREA dan GEM juga menyoroti keuntungan finansial yang dapat diperoleh Indonesia dari beralih ke energi terbarukan. Menurut laporan tersebut, sebelum tahun 2025, biaya rata-rata pembangkit listrik tenaga surya (Levelized Cost of Electricity/LCOE) di Indonesia akan lebih rendah sebesar 0,01 sen USD per kilowatt hour (kWh) dibandingkan dengan pembangkit listrik batu bara. Pada dekade berikutnya, perbedaan ini diperkirakan akan meningkat menjadi lebih dari 0,03 sen USD per kWh.

“Biaya pembangkit listrik dari energi terbarukan sudah lebih kompetitif dibandingkan batu bara. Ini adalah peluang besar bagi Indonesia untuk beralih dan memperkuat posisinya sebagai pemimpin dalam dekarbonisasi industri,” kata Katherine.

Peluang ini akan hilang bila Indonesia tetap bertahan dengan kebijakan membolehkan pembangunan PLTU captive baru di kawasan industri. Direktur Celios, Bhima Yudhistira, mengatakan bahwa pembangunan PLTU baru akan menghambat upaya Indonesia untuk mencapai industrialisasi yang berkelanjutan.

“Produk industri yang dihasilkan dari kawasan yang banyak polusi udaranya akan sulit bersaing di pasar global,” kata Bhima. “Masyarakat yang terkena dampak polusi udara juga akan mengalami penurunan produktivitas, yang pada akhirnya akan merugikan perekonomian secara keseluruhan.”

Bondan Andriyanu, Juru Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia mengatakan bahwa kebijakan tersebut adalah “langkah mundur yang sangat disayangkan. Alih-alih mempercepat peralihan ke energi bersih, pemerintah justru membuka pintu lebih lebar bagi investasi di sektor energi kotor yang merusak lingkungan dan membahayakan kesehatan masyarakat.”

Para aktivis lingkungan mendesak pemerintah untuk segera merevisi kebijakan yang kontraproduktif tersebut dan lebih serius dalam berkomitmen terhadap transisi energi bersih. Mereka juga meminta pemerintah untuk memprioritaskan pengembangan energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles