Skema pajak karbon tunggu regulasi dan kesiapan ketenagalistrikan

 

 

Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu. Sumber: BKF Kemenkeu 

Jakarta – Pemerintah akan menerapkan pajak karbon jika regulasi dan kesiapan sektor ketenagalistrikan sebagai sektor pertama yang akan dikenakan pajak karbon lebih siap. Sejauh ini, Kementerian Keuangan sedang menyusun berbagai aturan teknis pelaksanaan pajak karbon yaitu seperti tarif dan dasar pengenaan, cara penghitungan, pemungutan, pembayaran atau penyetoran, serta peta jalan karbon.

Hal itu disampaikan Kepala Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan Febrio Kacaribu, pada keterangan resmi, Sabtu (1/4). Menurut Febrio, proses penyempurnaan skema pasar karbon termasuk peraturan perundang-undangan terkait, yang akan menjadi pelengkap penerapan pajak karbon, juga membutuhkan penyempurnaan.

“Kesiapan ini penting agar tujuan inti dari penerapan pajak karbon memberikan dampak yang optimal,” ujarnya.

Apalagi risiko dan dinamika ekonomi global saat ini mengalami eskalasi yang sangat tinggi, terutama akibat konflik Rusia dan Ukraina, serta percepatan normalisasi kebijakan moneter di negara maju terutama Amerika Serikat (AS).

Dari kedua faktor tersebut mengakibatkan lonjakan harga komoditas global yang sangat tinggi khususnya komoditas energi dan pangan. Kondisi ini memberikan tekanan inflasi di banyak negara di dunia termasuk Indonesia.

“Dengan perkembangan tersebut, fokus pemerintah saat ini adalah memastikan ketersediaan dan stabilisasi harga energi dan pangan di dalam negeri, termasuk memberikan berbagai bentuk perlindungan sosial untuk melindungi masyarakat miskin dan rentan dari dampak kenaikan harga,” ungkap Febrio.

Lebih lanjut pihaknya mengklaim bahwa Indonesia berkomitmen untuk menanggulangi perubahan iklim dan telah menyampaikan komitmen tersebut pada Paris Agreement. Pemerintah Indonesia telah menunjukkan komitmen tersebut dengan pembaruan dokumen Nationally Determined Contributions (NDC) Indonesia di mana menambahkan sector kelautan dan perikanan serta kontribusi dari sisi adaptasi.

Tak hanya itu, pemerintah juga sudah menetapkan strategi jangka Panjang rendah karbon dan ketahanan iklim di tahun 2050 dan target Emisi Nol Bersih (Net Zero Emission) pada tahun 2060 atau lebih cepat.

“Berbagai upaya dan komitmen yang diperbarui menunjukan keseriusan pemerintah dalam mengatasi dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, kita perlu mengoptimalisasi seluruh instrumen yang ada termasuk pendanaan APBN maupun swasta”, paparnya.

Ia menjelaskan upaya mengatasi dampak perubahan iklim tersebut dikelompokkan menjadi aspek mitigasi dan adaptasi perubahan iklim. Untuk aspek mitigasi menekankan pada upaya menurunkan emisi gas rumah kaca, kemudian untuk upaya adaptasi perubahan iklim memprioritaskan upaya menurunkan kerentanan iklim dan meningkatkan ketahanan.

“Upaya tersebut membutuhkan dukungan dari sisi pendanaan baik melalui skema belanja pemerintah (APBN atau APBD) maupun sumber-sumber pendanaan lainnya yang sesuai regulasi. Untuk lebih mendorong penguatan kapasitas pendanaan terkait iklim, pemerintah menerbitkan Perpres Nomor 98 Tahun 2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon (bulan Oktober 2021) yang mengatur skema carbon pricing (carbon trading dan carbon offset), pembayaran berbasis kinerja (result-based payment/RBP), pungutan atas karbon seperti pajak karbon dan PNBP, serta mekanisme lainnya,” urainya. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles