Jakarta – Tren pertumbuhan kendaraan listrik di Indonesia terancam melambat seiring rencana pemerintah menghentikan berbagai insentif fiskal mulai 2026. Kebijakan ini dipastikan akan berdampak langsung pada harga jual mobil listrik yang berpotensi melonjak, menyusul berakhirnya potongan pajak dan kemudahan impor kendaraan listrik.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto menyatakan bahwa pemerintah tidak akan memperpanjang insentif mobil listrik pada 2026. Anggaran yang selama ini digunakan untuk mendorong adopsi kendaraan listrik rencananya akan dialihkan untuk mendukung program mobil nasional.
Salah satu insentif yang akan dihentikan adalah pembebasan bea masuk impor kendaraan listrik dalam bentuk mobil utuh atau completely built up (CBU), yang selama ini diturunkan dari tarif normal sekitar 50 persen menjadi nol persen.
Menanggapi rencana tersebut, Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai penghentian insentif berisiko memicu kenaikan harga mobil listrik secara signifikan. Hilangnya potongan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 10 persen serta insentif impor CBU dinilai akan langsung dibebankan ke konsumen.
IESR memperingatkan, kenaikan harga ini dapat menekan penjualan kendaraan listrik dan berimbas pada perlambatan perkembangan industri pendukung, mulai dari baterai hingga komponen kendaraan listrik. Selain itu, momentum percepatan adopsi kendaraan listrik yang selama ini berkontribusi menekan konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dan impor energi juga berpotensi terhambat.
IESR menilai fase awal adopsi kendaraan listrik masih sangat membutuhkan dukungan kebijakan agar permintaan tumbuh secara eksponensial. Pertumbuhan tersebut dinilai krusial untuk menciptakan ekosistem industri baterai yang terintegrasi dari hulu ke hilir, yang berpotensi menghasilkan manfaat ekonomi sedikitnya Rp544 triliun per tahun hingga 2060.
Meski memahami bahwa insentif kendaraan listrik dirancang bersifat sementara untuk menarik investasi manufaktur, IESR menilai kebijakan ini tetap layak diperpanjang selama terbukti memberikan manfaat ekonomi dan industri yang lebih besar. Saat ini, meskipun sudah ada delapan pabrikan mobil listrik yang memproduksi kendaraan di dalam negeri, jumlah tersebut dinilai belum cukup untuk menciptakan persaingan pasar yang sehat.
Target pemerintah untuk meningkatkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) hingga 60 persen pada 2027 dan 80 persen pada 2030 juga dinilai sulit tercapai tanpa basis manufaktur kendaraan listrik yang lebih besar dan beragam.
Studi IESR menunjukkan bahwa insentif memainkan peran penting dalam mendorong penjualan kendaraan listrik. Hingga Oktober 2025, penjualan mobil listrik nasional mencatatkan rekor 68.827 unit, dengan dominasi kendaraan yang menikmati insentif. Sebaliknya, penghentian insentif sepeda motor listrik pada 2025 berdampak signifikan, dengan penjualan anjlok hingga 80 persen pada kuartal pertama dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Chief Executive Officer (CEO) IESR, Fabby Tumiwa menegaskan bahwa elektrifikasi kendaraan sejalan dengan visi ketahanan dan kemandirian energi yang dicanangkan Presiden Prabowo Subianto. Berdasarkan analisis IESR, penggunaan satu unit mobil listrik sejauh 20 ribu kilometer mampu mengurangi impor BBM hingga 1.320 liter dan menghemat biaya pengguna sekitar Rp6,89 juta per tahun.
“Dengan jumlah kendaraan listrik di jalan hingga Oktober 2025 yang mencapai sekitar 140 ribu unit, potensi penghematan mencapai 185 ribu kiloliter BBM dan biaya kompensasi sekitar Rp315 miliar pada tahun berjalan, sekaligus berkontribusi pada penurunan emisi,” ujar Fabby.
Ia menambahkan bahwa elektrifikasi kendaraan bermotor merupakan tulang punggung penurunan emisi sektor transportasi. “Kontribusinya bisa mencapai 45 hingga 50 persen dari total penurunan emisi sektor transportasi. Manfaatnya akan jauh lebih besar jika dikombinasikan dengan pendekatan Avoid–Shift–Improve, yang secara jangka panjang mampu menurunkan emisi hingga 76 persen dan sekitar 18 persen pada 2030,” jelasnya.
Menurut Fabby, percepatan elektrifikasi membutuhkan konsistensi kebijakan melalui kombinasi regulasi dan insentif yang saling menguatkan. Ia menilai rasionalisasi subsidi BBM menjadi langkah mendesak karena selama ini justru melemahkan daya saing kendaraan listrik.
Sementara itu, Koordinator Riset Manajemen Permintaan Energi IESR Faris Adnan Padhilah mengungkapkan bahwa minat perbankan nasional untuk membiayai industri kendaraan listrik dan kredit kepemilikan kendaraan listrik terus meningkat. Peluang ini, menurutnya, perlu dimanfaatkan pemerintah untuk memperkuat pembiayaan hijau bagi mobilitas berkelanjutan.
Selain pembiayaan, Faris menekankan pentingnya kebijakan sisi pasokan, seperti mandat kendaraan listrik, penerapan instrumen ekonomi termasuk pajak karbon pada BBM, serta insentif non-fiskal seperti pembebasan aturan ganjil-genap.
“Kombinasi kebijakan ini akan meningkatkan daya tarik kendaraan listrik dan mendorong minat konsumen,” ujarnya.
IESR pun mendorong pemerintah mengkaji ulang rencana penghentian insentif kendaraan listrik, mengingat sejumlah produsen masih dalam tahap pembangunan pabrik dan Indonesia masih membutuhkan investasi dari merek-merek global agar tidak kalah bersaing dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Tanpa penyesuaian kebijakan, rencana besar transisi kendaraan listrik dikhawatirkan kehilangan momentumnya tepat saat pasar mulai tumbuh. (Hartatik)
Foto banner: Mobil listrik di pameran PEVS 2023 di Jakarta. nsh/tanahair.net


