Jakarta – Sebuah survei global terbaru menemukan bahwa 88 persen eksekutif perusahaan di tanah air percaya bahwa energi terbarukan lebih menguntungkan dibandingkan mempertahankan ketergantungan pada batu bara.
Temuan ini merupakan bagian dari laporan bertajuk “Powering up: Business perspectives on shifting to renewable electricity”, hasil survei terhadap 1.477 pemimpin bisnis di 15 negara besar penghasil emisi, termasuk Indonesia. Survei ini dilakukan oleh Savanta atas permintaan We Mean Business Coalition, E3G, dan Beyond Fossil Fuels.
Menurut Maria Mendiluce, CEO We Mean Business Coalition, dunia usaha kini melihat energi terbarukan sebagai kebutuhan strategis.
“Peralihan dari bahan bakar fosil bukan lagi perdebatan ideologis. Ini adalah keputusan bisnis yang rasional untuk menciptakan keunggulan kompetitif, membuka lapangan kerja, dan memastikan stabilitas harga energi,” ujar Maria dalam pernyataan tertulis, Senin, 28 April.
Ia menegaskan, para pemimpin bisnis telah berinvestasi di energi terbarukan dan ingin mempercepat transisi tersebut. Namun, mereka menuntut agar pemerintah mempercepat proses perencanaan dan perizinan proyek energi bersih, termasuk pengembangan jaringan listrik dan fasilitas penyimpanan energi.
Meski dunia usaha mendorong percepatan transisi, realitas di lapangan menunjukkan Indonesia masih sangat bergantung pada batu bara. Saat ini, 62 persen kapasitas pembangkit listrik nasional berasal dari batu bara, ditopang cadangan mencapai lebih dari 31 miliar ton.
Dalam dua dekade terakhir, produksi listrik berbasis batu bara melonjak hampir lima kali lipat, dari 52 GWh pada 2002 menjadi 249 GWh pada 2022. Ironisnya, 95 persen pemimpin bisnis di Indonesia menyatakan mendukung penghentian penggunaan batu bara paling lambat tahun 2035.
Gas bukan solusi transisi
Menariknya, mayoritas pelaku usaha Indonesia juga menolak gas alam sebagai solusi antara. Sebanyak 72 persen lebih memilih transisi langsung dari batu bara ke energi terbarukan, tanpa melewati ketergantungan pada gas.
“Gas alam telah menimbulkan kerugian dan ketidakpastian. Para pemimpin bisnis sudah cukup melihatnya,” tegas Claire Smith, Senior International Campaigner Beyond Fossil Fuels.
Sebanyak 69 persen eksekutif yang disurvei percaya bahwa mempercepat transisi ke energi bersih juga dapat mengurangi dampak krisis iklim, sebuah isu mendesak bagi Indonesia yang rentan terhadap kekeringan, banjir, dan kenaikan permukaan laut.
Selain dukungan moral, para pelaku usaha mengajukan sejumlah tuntutan konkret kepada pemerintah: 76 persen meyakini transisi ke energi terbarukan akan menurunkan biaya listrik bagi perusahaan dan konsumen; 52 persen meminta penyederhanaan proses perizinan proyek energi terbarukan; 51 persen mendesak percepatan investasi modernisasi jaringan listrik; dan 53 persen menyerukan program peningkatan keterampilan tenaga kerja untuk mendukung pertumbuhan industri energi terbarukan.
Indonesia sendiri telah berkomitmen dalam kerangka Just Energy Transition Partnership (JETP) untuk mencapai 44 persen energi terbarukan dalam bauran listrik nasional pada 2030. Namun, kendala pendanaan masih menjadi tantangan serius. Saat ini, investasi di energi surya, misalnya, masih jauh dari kebutuhan USD 14,4 miliar untuk mencapai target kapasitas tahun 2025.
Menurut laporan tersebut, rencana ekspansi energi terbarukan sebesar 21 GW hingga 2030 berpotensi menciptakan 100 ribu lapangan kerja dan menarik investasi hingga USD 4,3 miliar.
“Tekad bisnis untuk membangun sistem energi terbarukan adalah peluang besar bagi negara-negara yang ingin menarik investasi dan mendorong pertumbuhan,” pungkas Maria Mendiluce.
Maria menambahkan bahwa kolaborasi erat antara pemerintah dan dunia usaha dalam membangun kapasitas tenaga kerja menjadi kunci agar Indonesia bisa memetik manfaat maksimal dari peralihan ini. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)