Riset EBT jadi prioritas, kolaborasi dan insentif masih jadi tantangan utama

Jakarta – Para pengamat energi menilai kebijakan pemerintah memasukkan energi terbarukan dalam daftar delapan tema riset prioritas nasional menegaskan arah Indonesia menuju transisi energi, namun kolaborasi riset dengan industri dan insentif yang mendukung masih menjadi pekerjaan rumah besar.

Ketua Pusat Studi Energi Terbarukan Indonesia (ICRES), Surya Darma, Senin, 16 November, menilai penegasan ini sejalan dengan upaya Indonesia sejak 2006 yang sudah memiliki peta jalan riset energi terbarukan. Ia menyebut langkah tersebut semestinya dapat mendorong percepatan transisi energi.

“Teknologi energi terbarukan semakin maju dan makin kompetitif. Road map riset sebenarnya sudah ada sejak 2006, dan prioritas baru ini harusnya memperjelas kembali komitmen Indonesia dalam mencapai bauran energi terbarukan,” ujar Surya Darma.

Meski demikian, Surya menyoroti dua tantangan utama yakni minimnya kolaborasi antara periset dan pelaku usaha, serta insentif riset yang dinilai belum memadai. Menurutnya, tanpa kerja sama yang kuat dan dukungan fiskal yang jelas, inovasi akan sulit diterapkan di lapangan. “Tantangannya adalah kurangnya kolaborasi hasil riset dengan badan usaha. Selain itu, insentif riset juga belum menjadi perhatian sungguh-sungguh dari pemerintah,” tegasnya.

Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi (Kemdiktisaintek) memasukkan energi terbarukan dalam daftar delapan tema riset prioritas nasional. Daftar tersebut juga mencakup pangan, kesehatan, transportasi, rekayasa keteknikan, pertahanan dan keamanan, kemaritiman, serta kemandirian sosial dan budaya. Penetapan ini diharapkan meningkatkan inovasi dan mendukung pembangunan berkelanjutan, termasuk terciptanya pekerjaan ramah lingkungan.

Surya Darma berharap pemerintah memperkuat dukungan agar riset benar-benar menarik bagi industri. “Perlunya diberikan insentif riset agar menarik bagi pelaku usaha energi terbarukan sebagai upaya percepatan penggunaan energi terbarukan dalam memenuhi target NZE,” lanjutnya.

Sementara itu, Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) menegaskan komitmennya menjadi mitra strategis industri untuk mendorong dekarbonisasi. Melalui riset terapan, pendampingan industri, dan penerapan target iklim berbasis sains, BRIN berupaya memastikan riset benar-benar memberikan manfaat ekonomi dan lingkungan.

Peneliti Ahli Utama Pusat Riset Ekonomi Perilaku dan Sirkuler BRIN, Maxensius Tri Sambodo, menyebut kemampuan riset transdisiplin sebagai kekuatan lembaganya.

“Pendekatan ini memastikan hasil penelitian -benar relevan dan berdampak bagi upaya dekarbonisasi sektor industri,” ujarnya dalam sebuah diskusi mengenai ambisi iklim korporasi.

Ia juga menyoroti insentif “super tax deduction” sebagai peluang yang belum dimanfaatkan secara optimal oleh industri. BRIN mendorong perusahaan melaku”kan R&D teknologi rendah karbon, namun tingkat keberhasilan pengajuan insentif disebut masih rendah.

“Perusahaan bisa mendapatkan potongan pajak signifikan jika melakukan riset bersama BRIN. Ini win-win: riset berjalan, emisi berkurang, dan insentif fiskal bisa dimanfaatkan,” jelasnya.

Meski demikian, ia mengakui adanya kendala administratif dan standar keuangan riset yang membuat banyak perusahaan enggan memanfaatkan skema tersebut. Karena itu, BRIN membuka diri untuk memberikan pendampingan lebih intens.

“BRIN tidak hanya menyediakan peneliti dan teknologi, tapi menjadi jembatan antara riset dan bisnis. Melalui kolaborasi riset, kita bisa mempercepat inovasi untuk mengurangi emisi karbon dan mendorong ekonomi berkelanjutan,” kata Sambodo. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles