Realisasi cofiring capai 1,6 juta ton di 2024, PLN fokus garap biomassa untuk PLTU

Jakarta – Sepanjang 2024, PLN Energi Primer Indonesia (PLN EPI) mencatat pemanfaatan biomassa telah mencapai 1,6 juta ton, menurut perusahaan BUMN ini Kamis, 11 September. Sebagiannya digunakan dalam program cofiring biomassa di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), sejalan dengan peta jalan transisi energi menuju target net zero emission (NZE) 2060.

Direktur Biomassa PLN EPI, Hokkop Situngkir, menegaskan bahwa biomassa bukan sekadar bahan bakar substitusi, melainkan bagian dari strategi besar dekarbonisasi sekaligus penggerak ekonomi masyarakat.

“Bioenergi itu tidak hanya bicara material yang dibakar, tetapi juga seluruh jejak karbon dari hulu ke hilir. Karena itu setiap tahun kami pastikan ada peningkatan signifikan pemanfaatan biomassa sesuai Permen ESDM 12/2023 dan RUPTL 2025–2034,” ujar Hokkop. Menurutnya, pemanfaatan biomassa memiliki efek berganda karena membuka peluang usaha bagi UMKM, kelompok tani, hingga mitra lokal.

“Dulunya limbah seperti sekam padi atau serbuk gergaji hanya dibakar. Sekarang, bahan-bahan itu bisa bernilai ekonomi. Jadi, cofiring biomassa bukan hanya energi bersih, tapi juga pemberdayaan masyarakat,” jelas Hokkop.

PLN menilai potensi biomassa Indonesia masih sangat besar, baik untuk on-grid melalui jaringan PLN maupun kebutuhan off-grid/captive power yang kontribusinya justru kini lebih dominan.

Tantangan pasokan dan teknologi

Meski progres signifikan telah dicapai, PLN mengakui tantangan tetap ada, terutama pada stabilitas pasokan, kesenjangan kapasitas pengolahan, hingga harmonisasi kebijakan antarinstansi.

“Industri bioenergi kita belum sepenuhnya terbentuk. Padahal banyak limbah industri yang bisa dimanfaatkan. Ke depan, konsep sub-hub, hub, dan main hub bisa menjamin kualitas sekaligus memfasilitasi produksi biomassa secara berkelanjutan,” papar Hokkop.

Selain itu, biaya logistik menjadi faktor penting. Teknologi digital seperti AI dan IoT dipandang krusial untuk melacak rantai pasok biomassa dari hulu ke hilir agar akuntabel dan traceable.

Dinamika harga biomassa juga masih dipengaruhi harga batu bara sebagai energi substitusi. Saat harga batu bara naik, biomassa menjadi kompetitif. Namun, saat harga batu bara turun, biomassa sulit bersaing.

“Karena itu, ke depan diperlukan mekanisme indeksasi harga biomassa agar lebih ekonomis, terukur, dan bisa menjadi acuan pasar,” kata Hokkop.

Indonesia juga menghadapi persaingan ekspor, misalnya cangkang sawit yang banyak diminati pasar luar negeri meski dikenakan tarif ekspor. Kondisi ini menuntut adanya kolaborasi kuat antara PLN, pemerintah, dan pelaku usaha untuk menjaga rantai pasok domestik.

Menuju target 2030

Pemerintah menargetkan pemanfaatan 9 juta ton biomassa pada 2030 untuk mendukung Enhanced Nationally Determined Contribution (NDC). Cofiring biomassa di PLTU menjadi strategi utama pengurangan emisi gas rumah kaca (GRK) sekaligus pendorong tumbuhnya industri bioenergi.

“Peluang pasar biomassa, baik domestik maupun internasional, terbuka sangat besar. Kuncinya adalah menjaga kesinambungan pasokan dan memastikan standar teknis seperti SNI terpenuhi,” tegas Hokkop.

Dengan realisasi 1,6 juta ton pada 2024, PLN optimistis pemanfaatan biomassa akan terus meningkat, mempercepat transisi energi, dan membawa manfaat langsung bagi masyarakat. (Hartatik)

Foto banner: Produksi biomassa, Kudus, Jawa Tengah. 27 August 2024. (nsh)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles