Presidensi G20, Indonesia didesak tidak tunda peralihan energi bersih

oleh : Hartatik

Nusa Dua, Bali – Indonesia selaku Presidensi Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 mengaku masih membutuhkan bahan bakar fosil untuk memenuhi kebutuhan energi negara. Sementara negara menyadari urgensi untuk beralih ke sumber energi bersih, namun pemerintah menegaskan itu lebih mudah diucapkan daripada dilakukan.

Sebaliknya, para juru kampanye energi memperingatkan bahwa penggunaan bahan bakar fosil yang berkelanjutan akan menghambat peralihan negara tersebut ke energi bersih.

Di Desa Bojong Salaman Kota Semarang, rumah tangga mendapat manfaat dari program jaringan pipa yang memasok gas alam. Bagi warga seperti Nenek Padmi yang mata pencahariannya berjualan sayur mayur, dengan adanya proyek ini berarti mereka tidak perlu lagi khawatir kehabisan bensin sewaktu-waktu.

Warga lainnya, Supriati, yang sehari-hari membuat donat, juga berterima kasih atas program jaringan gas karena jauh lebih murah dan hemat dibandingkan elpiji. Jaringan gas untuk rumah tangga merupakan salah satu program yang dibuat untuk mendukung diversifikasi energi dan memastikan pemanfaatan pasokan gas bumi negara.

“Tujuan program pembangunan jaringan gas untuk rumah tangga adalah untuk memberikan akses energi bagi masyarakat, memberikan dampak positif bagi masyarakat melalui penghematan biaya bahan bakar gas, membantu perekonomian masyarakat menuju perekonomian masyarakat yang mandiri dan berwawasan lingkungan serta mengurangi beban subsidi BBM dan/atau LPG pada sektor rumah tangga,” kata Risris Risdianto, Pejabat Pembuat Komitmen Jaringan Gas Kota Semarang dan Kabupaten Blora.

Lebih dari 840.000 rumah telah terpasang jaringan gas sejak skema dimulai pada 2009 hingga 2021. Lebih dari 660.000 di antaranya didanai melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).

Program ini telah tersedia di 17 provinsi dan 57 kabupaten. Pada tahun 2022, negara mencapai target membangun hampir 41.000 sambungan rumah. Tetapi implementasi program ini menemui hambatan di beberapa daerah.

Di Desa Sukorejo, Kabupaten/Kota Bojonegoro, beberapa warga mengeluhkan harga gas bumi yang diduga mahal. Gaguk, warga Kadipaten, bahkan harus membayar Rp 70.000 untuk gas yang tak pernah dipakai sama sekali. Dia mengecam pemerintah yang mengatakan belanja untuk program jaringan gas akan lebih murah daripada LPG tiga kilogram.

Mengingat keterbatasan anggaran, negara akan mulai mengembangkan jaringan gas melalui skema Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU) tahun depan.

Melalui skema ini, diharapkan jaringan gas dapat dibangun secara besar-besaran. Untuk satu sambungan rumah, dibutuhkan biaya sekitar 10 juta rupiah.

Tahun ini, pilot project dilakukan di dua kota, yakni Palembang dan Batam, dari 13 lokasi yang diusulkan Kementerian ESDM.

“Ke depan, kami berharap bisa membangun satu juta sambungan rumah per tahun. Tapi saat ini pilot project dulu ada ratusan sambungan rumah,” tambah Tutuka.

Jaringan gas dengan skema GBEC merupakan salah satu upaya pemerintah untuk menahan impor LPG.

Hal itu juga dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pendanaan yang berkelanjutan, membangun infrastruktur yang berkualitas dan efisien, serta memastikan pengembalian investasi melalui mekanisme pembayaran berkala oleh pemerintah.

Selain itu, penggunaan LNG juga dapat dioptimalkan. Sesuai proyeksi, akan ada peningkatan produksi LNG pada 2028. Dalam 10 tahun ke depan, Indonesia akan memiliki surplus gas hingga 1.715 MMSCFD, yang bersumber dari proyek-proyek potensial di berbagai daerah di tanah air.

Menunda transisi ke energi bersih

Selain jaringan gas, strategi pemerintah lainnya adalah menggunakan kompor induksi sebagai sumber energi alternatif.

Namun, Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform Fabby Tumiwa mengatakan pemerintah seharusnya mendorong roadmap energi bersih yang lebih fokus. Koordinator Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Indonesia, Tata Mustasya mengatakan, penggunaan gas oleh sejumlah negara hanya menjadi selingan dalam mendorong transisi energi bersih.

“Masalah gas ini bukan solusi nyata dan akan menunda transisi yang sebenarnya. Jadi kalau kita dorong gas, berarti kita tidak akan bisa nol emisi di tahun 2050. Karena kalau kita bangun sekarang gasnya masih ada 2060-2070,” kata Tata.

Tata menjelaskan, meski gas alam menghasilkan emisi lebih sedikit dibandingkan bahan bakar fosil lainnya, namun tetap berdampak buruk bagi lingkungan dan mempercepat krisis iklim.

Dia meminta negara-negara untuk berhenti menunda peralihan ke energi bersih karena kebutuhan untuk mengatasi krisis iklim semakin mendesak.

Hal senada diungkapkan Peneliti dan Program Manager Trend Asia Andri Prasetiyo. Ia mengatakan, banyak penelitian telah membuktikan bahwa penggunaan gas sebagai sumber energi dapat menyebabkan negara bergantung pada energi kotor.

“Jadi bukannya jadi jembatan penghubung energi terbarukan, dia malah dikurung karena sifatnya relatif menidurkan negara-negara yang sudah memilih (gas),” ujar Andri.

Dia mengatakan sejumlah negara sudah nyaman menggunakan gas karena tidak ada insentif untuk melakukan transisi energi.

“Gas juga menghasilkan metana dan juga kurang ramah dibandingkan karbon dioksida,” katanya.

Wakil Direktur Eksekutif CEED, Avril de Torres menyayangkan, Asia Tenggara yang disebut sebagai benteng terakhir dengan cepat berubah menjadi pusat gas fosil dan LNG Asia. Bahkan perusahaan listrik pemerintah mempromosikan rencana ekspansi gas besar-besaran dengan kedok pembangunan.

Apalagi wilayah ini dihadapkan dengan 138 Gigawatt pembangkit listrik tenaga gas baru serta 118 terminal LNG, baik yang diusulkan atau sudah dibangun.

“Ada pembangkit gas yang baru tahap pra-konstruksi dengan kapasitas 117 Gigawatt di Asia Tenggara. Ini melampaui Asia Timur 77 Gigawatt,” ujar Wakil Direktur Eksekutif CEED, Avril de Torres saat merilis laporan khusus tentang ‘Harga Tinggi dan Ekspansi Gas Fosil di Asia Tenggara pada Senin (14/11).

Menurut Avril, keuangan publik dan swasta dari anggota G20 seperti Jepang, Uni Eropa dan AS mengarahkan investasi gas fosil dan gas alam cair (LNG) di kawasan Asia Tenggara sehari sebelum dimulainya KTT G20 2022 di Bali.

Informasi tersebut sangat relevan dengan cuitan Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam akun twitter. SrI Mulyani mengatakan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) tiba-tiba menggelar rapat terbatas dengan beberapa menteri di sela persiapan acara puncak Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20.

“Pagi ini – di Bali – di sela persiapan KTT G20, Presiden @Jokowi mengadakan rapat terbatas mengenai ekosistem energi gas dan kebijakan harga gas untuk industri dalam negeri,” ungkap Sri Mulyani melalui akun Instagramnya, Rabu (9/11).

Menurut Sri Mulyani, rapat terbatas dadakan ini dilakukan mengingat dunia kini tengah menghadapi ancaman krisis energi terutama dengan adanya eskalasi perang Rusia-Ukraina. Oleh karena itu, dengan besarnya potensi sumber daya alam negeri ini, khususnya gas, menurutnya Indonesia seharusnya mampu membuat kebijakan yang tepat untuk memenuhi kebutuhan energi nasional dan juga meningkatkan daya saing industrinya.

“Indonesia dengan kekayaan sumber daya alam, harus mampu menyusun kebijakan yang tepat untuk meningkatkan ketahanan energi nasional dan meningkatkan daya saing ekonomi dan industri nasional. Apalagi gas merupakan salah satu sumber energi penting bagi perekonomian Indonesia sekarang dan yang akan datang,” pungkasnya.

Perlu diketahui berdasarkan data terbaru Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas), status per 31 Desember 2021, Indonesia memiliki cadangan terbukti (proven reserves) gas alam sebesar 34,64 triliun kaki kubik (TCF).

Bila digabungkan dengan data cadangan potensial (potential reserves), berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Alam per 1 Januari 2021, total cadangan gas Indonesia mencapai 60,61 TCF.

 

Laporan ini adalah bagian dari  G20 fellowship yang didukung oleh Climate Tracker Asia. 

Foto banner: Kompor gas merupakan paket bantuan program jaringan gas untuk rumah tangga dari Kementerian ESDM. (Sumber: Dok Kementerian ESDM).

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles