Potensi pemanasan global ancam Indonesia, hari panas diprediksi tembus 234 hari per tahun

Jakarta – Laporan terbaru Climate Central dan World Weather Attribution (WWA) memperkirakan bahwa jika pemanasan global tidak dibatasi, negara tropis seperti Indonesia bisa mengalami hingga 234 hari panas per tahun, atau lebih dari setengah tahun kalender.

Laporan berjudul “Ten Years of the Paris Agreement: The Present and Future of Extreme Heat”, menjelaskan bahwa meski seluruh negara memenuhi janji penurunan emisi sesuai kesepakatan Paris, suhu global tetap akan meningkat sekitar 2,6°C pada akhir abad ini. Pada skenario tersebut, Indonesia akan mengalami 134 hari panas ekstrem per tahun. Namun jika dunia gagal menahan laju emisi dan suhu naik hingga 4°C, jumlah hari panas di Indonesia bisa menembus 234 hari setiap tahun.

Saat ini, tren peningkatan suhu sudah terlihat nyata. Rata-rata hari panas di Indonesia melonjak dari 45 hari (periode 2005–2014) menjadi 77 hari (2015–2024) — atau meningkat sekitar 18 hari dalam satu dekade. Kenaikan ini menempatkan Indonesia di peringkat ketiga dunia dan tertinggi di Asia dalam hal percepatan hari panas sejak disepakatinya Paris Agreement pada 2015.

“Akan ada penderitaan dan kesengsaraan akibat perubahan iklim,” kata Kristina Dahl, Wakil Presiden Bidang Sains, Climate Central, yang juga salah satu penulis laporan tersebut. “Panas itu membuat orang-orang pergi ke ruang gawat darurat. Panas (ekstrim) membunuh orang,” katanya kepada Phys.org pekan lalu.

Laporan tersebut tidak menyebutkan berapa banyak orang yang akan terdampak oleh hari-hari panas ekstrem tambahan, tetapi penulis laporan Friederike Otto dari Imperial College London mengatakan bahwa “jumlahnya pasti akan mencapai puluhan ribu atau jutaan, tidak kurang dari itu.” Ia mencatat bahwa ribuan orang sudah meninggal setiap tahun akibat gelombang panas.

Laporan tersebut mencatat bahwa dampak gelombang panas baru-baru ini menunjukkan banyak negara belum siap menghadapi kondisi dengan pemanasan 1,3°C, apalagi 2,6°C. Kondisi ini mengancam berbagai sektor kehidupan — mulai dari kesehatan masyarakat, produktivitas tenaga kerja, ketahanan pangan, hingga ketersediaan air bersih. Gelombang panas yang berkepanjangan juga berisiko memicu kekeringan, gagal panen, dan peningkatan kasus penyakit akibat suhu ekstrem, terutama di wilayah perkotaan yang padat penduduk.

Laporan itu menyoroti bahwa negara beriklim tropis seperti Indonesia, Brasil, dan India merupakan wilayah paling rentan terhadap dampak pemanasan ekstrem. Bahkan sedikit peningkatan suhu global dapat memicu lonjakan besar dalam frekuensi dan intensitas gelombang panas.

Selain dampak lingkungan, krisis panas ekstrem juga menimbulkan tekanan sosial dan ekonomi. Banyak komunitas belum memiliki sistem adaptasi memadai, seperti perlindungan pekerja lapangan, infrastruktur tahan panas, serta akses kesehatan yang responsif terhadap cuaca ekstrem.

Para peneliti menegaskan, solusi jangka panjang hanya dapat dicapai melalui transisi energi dari minyak, gas, dan batu bara menuju energi bersih. Selain itu, langkah adaptasi lokal seperti penghijauan kota, peningkatan ruang terbuka hijau, dan sistem peringatan dini gelombang panas perlu segera diperkuat. (Hartatik)

Foto banner: Johannes Plenio/pexels.com

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles