Potensi panas bumi Indonesia tembus 2.160 GW, potensi solusi untuk industri

Jakarta – Laporan terbaru Project InnerSpace, berjudul The Future of Geothermal in Indonesia mengungkap potensi teknis panas bumi nasional mencapai 2.160 gigawatt (GW). Temuan ini membuka peluang besar bagi Indonesia untuk menggunakan panas bumi tidak hanya sebagai sumber listrik, tetapi juga sebagai penyedia panas industri dan sistem pendinginan terpusat (district cooling) yang dibutuhkan kawasan industri, kota baru, hingga pusat data (data center).

Laporan yang dirilis Selasa, 2 Desember, menunjukkan bahwa kemajuan teknologi pengeboran dan eksplorasi bawah permukaan membuat pemanfaatan panas bumi generasi berikutnya semakin realistis, murah, dan memungkinkan untuk dikembangkan di wilayah yang sebelumnya tidak memenuhi syarat panas bumi konvensional. Dengan kemampuan baru tersebut, Indonesia dipandang sebagai kandidat kuat pemimpin global energi panas bumi generasi baru karena kekayaan sumber daya dan pengalaman panjang dalam industri migas dan panas bumi.

Direktur Keterlibatan Global Project InnerSpace, Jackson Grimes, menegaskan bahwa Indonesia sebenarnya sudah berada satu langkah lebih maju dibandingkan banyak negara lain.

“Indonesia sudah menjadi pemimpin dunia dalam panas bumi hidrotermal (konvensional). Warisan panjang di sektor minyak dan gas serta panas bumi memberi Indonesia keterampilan teknis, kapasitas pengeboran, dan keahlian operasional untuk memimpin fase berikutnya yakni pendinginan berbasis panas bumi, panas industri, dan listrik dari panas bumi generasi terbaru,” ujar Grimes.

Ia menambahkan bahwa langkah besar dapat dicapai bila pemerintah Indonesia memperbarui kebijakan dan membuka ruang lebih luas bagi aplikasi panas bumi non-listrik.

“Analisis kami menunjukkan bahwa dengan memodernisasi regulasi panas bumi dan memperluas fokus nasional melampaui ketenagalistrikan, Indonesia dapat membuka ribuan megawatt energi rendah emisi yang andal, memperkuat daya saing industri, dan menciptakan ratusan ribu pekerjaan terampil, sekaligus meningkatkan ketahanan energi dan memperkuat penerimaan sosial melalui manfaat yang lebih jelas bagi masyarakat,” lanjutnya.

Salah satu terobosan penting adalah hadirnya sistem panas bumi generasi terbaru (next generation geothermal), yang tidak lagi membutuhkan kantong reservoir bawah tanah alami. Teknologi ini dapat mengekstraksi panas bumi dari lapisan batuan panas hingga kedalaman lebih dari 3.000 meter, sehingga bisa dibangun dekat kawasan industri, pusat kota, bahkan kompleks kampus.

CEO IESR, Fabby Tumiwa, menjelaskan bahwa teknologi ini menjawab kelemahan panas bumi konvensional yang sering bersinggungan dengan kawasan lindung atau pemukiman.

“Sistem panas bumi generasi terbaru ini berbeda karena tidak memerlukan reservoir bawah tanah alami dan karenanya dapat dikembangkan di mana saja yang memiliki sumber daya panas bumi yang memadai. Dengan demikian, salah satu isu utama panas bumi konvensional, seperti sering berada di kawasan lindung atau dekat pemukiman sehingga dapat menimbulkan potensi dampak sosial-ekonomi dan konflik, dapat dihindarkan,” katanya.

Fabby menilai pemanfaatannya dapat langsung dirasakan masyarakat karena fleksibilitas lokasi yang lebih besar.

“Energi panas bumi dapat dimanfaatkan untuk menyediakan panas atau menghasilkan listrik di lokasi yang membutuhkan, termasuk oleh masyarakat,” jelasnya. Ia menambahkan bahwa Indonesia memiliki tenaga ahli yang mumpuni untuk mengembangkan teknologi tersebut.

“Memanfaatkan keahlian minyak dan gas serta panas bumi yang kita miliki akan membantu mengubah potensi ini menjadi proyek nyata, dan mempercepat penurunan biaya pemanfaatan energi panas bumi.”

Dengan potensi teknis mencapai 2.160 GW, panas bumi disebut mampu memenuhi hingga 90% kebutuhan panas proses industri manufaktur. Industri makanan-minuman, tekstil, kimia, hingga smelter dapat memanfaatkan panas bumi sebagai substitusi gas dan batu bara, yang selama ini mendominasi konsumsi energi panas.

Selain itu, pendinginan berbasis panas bumi (geothermal district cooling) dinilai sangat cocok untuk mendukung pertumbuhan data center dan kota industri di Indonesia. Teknologi ini dapat menurunkan konsumsi listrik untuk pendinginan hingga 50–70%, memberikan udara lebih bersih, dan mengurangi beban jaringan listrik.

Untuk membuktikan kesiapan teknologi pendinginan panas bumi, Project InnerSpace akan mendanai studi kelayakan di Universitas Gadjah Mada (UGM). Studi ini akan menilai potensi pembangunan sistem pendinginan kampus berbasis panas bumi, yang berpotensi menjadi proyek district cooling pertama di Indonesia yang sepenuhnya memanfaatkan panas bumi.

Jika hasil studi dinyatakan layak, Project InnerSpace akan melanjutkan pengembangan proyek tersebut melalui program GeoFund, membuka jalan bagi implementasi teknologi serupa di kawasan industri dan kota besar lainnya. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles