Jakarta – Akibat pemanasan global, sekitar 15.000 penularan virus dari spesies ke spesies baru dapat terjadi selama 50 tahun ke depan. Hal itu mendorong hewan liar bermigrasi ke wilayah manusia, sehingga bisa memicu kemunculan pandemi baru.
Dikutip dari Science Daily, Jumat (6/5), studi internasional yang dipimpin ilmuwan dari Georgetown University, AS, dan diterbitkan di Nature, 28 April 2022, meneliti perjalanan mamalia saat mereka pindah ke habitat baru.
Saat bertemu mamalia lain untuk pertama kalinya, studi memproyeksikan mereka akan berbagi ribuan virus. Perjalanan ini, menurut studi itu, bahkan berpeluang lebih besar memunculkan virus seperti ebola atau virus korona di daerah baru serta membuatnya lebih sulit dilacak.
Selain itu, virus bisa masuk ke hewan baru dan menjadikannya “batu loncatan” untuk kemudian menulari manusia.
“Analogi terdekat sebenarnya adalah risiko yang kita lihat dalam perdagangan satwa liar,” kata penulis utama studi tersebut Colin Carlson, Asisten Profesor Peneliti di Pusat Ilmu dan Keamanan Kesehatan Global di Georgetown University Medical Center.
Lebih lanjut, menurutnya, para peneliti mengkhawatirkan tentang pasar hewan, karena menyatukan hewan yang tidak sehat dalam kombinasi yang tidak alami serta menciptakan peluang untuk proses kemunculan pandemi bertahap ini.
“Sebagaimana [kasus penyebaran] SARS yang melompat dari kelelawar ke musang, dari musang ke manusia,” lanjut dia.
Namun demikian, kata Carlson, kasus pasar ini tidak lagi istimewa bila dibandingkan perubahan iklim yang dapat meniru kondisi pasar basah dalam skala global. Dalam studi itu, ilmuwan memprediksi kenaikan suhu global bahkan kurang dari dua derajat Celcius akan menggeser habitat beberapa hewan liar lebih dekat dengan manusia.
Dalam iklim yang berubah, proses semacam itu akan menjadi kenyataan di alam di mana-mana. Dia menuturkan fenomena ini membuat hewan akan bergerak secara tidak proporsional di tempat yang sama dengan permukiman manusia, serta menciptakan hotspot baru.
Tim peneliti mengatakan sebagian besar dari proses ini mungkin sudah berlangsung di dunia dengan suhu yang sudah lebih menghangat 1,2 derajat saat ini. Menurutnya pula, upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca mungkin tidak menghentikan peristiwa ini. Studi ini juga menemukan kenaikan suhu global berpengaruh terhadap kelelawar, yang diketahui menjadi penyebar berbagai virus baru. Kemampuan satwa ini untuk terbang akan memungkinkan mereka melakukan perjalanan jarak jauh, dan menyebarkan virus paling banyak.
Peneliti pun memprediksi dampak terbesarnya terjadi di Asia Tenggara, yang menjadi rumah aneka ragam kelelawar.
“Simulasi mengejutkan kami. Kami telah menghabiskan waktu bertahun-tahun untuk memeriksa ulang hasil tersebut, dengan data yang berbeda dan asumsi yang berbeda, tetapi model selalu membawa kami pada kesimpulan ini,” aku Carlson.
Ketika virus mulai berpindah antar-spesies inang dengan kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, para penulis penelitian mengatakan dampaknya terhadap konservasi dan kesehatan manusia bisa tak terduga.
“Mekanisme ini menambah lapisan (dampak) lain tentang bagaimana perubahan iklim akan mengancam kesehatan manusia dan hewan,” kata penulis utama studi tersebut Gregory Albery, seorang peneliti pascadoktoral di Departemen Biologi di Fakultas Seni dan Sains Georgetown University.
Secara keseluruhan, penelitian ini menunjukkan bahwa perubahan iklim menjadi faktor risiko hulu terbesar terhadap munculnya penyakit, melebihi efek deforestasi, perdagangan satwa liar, dan pertanian industri. Para penulis studi mengatakan solusi atas masalah ini adalah menerapkan pengawasan terhadap penyakit satwa liar. (Hartatik)
Foto banner: Ketut Subiyanto/pexels.com