Perubahan iklim picu gelombang panas di Asia, waspadai dampaknya

Jakarta – Gelombang panas yang sedang melanda sejumlah negara di Asia, terutama di wilayah Asia Tenggara, telah memunculkan kekhawatiran akan dampaknya yang merusak. Fenomena ini telah menewaskan puluhan orang, merusak tanaman, dan bahkan memaksa pemerintah beberapa negara untuk menghentikan sementara aktivitas belajar tatap muka.

Namun, sebagian negara di kawasan, seperti Indonesia, Singapura, dan Malaysia, belum merasakan dampak yang sama meskipun suhu telah meningkat cukup tinggi.

Deputi Bidang Meteorologi BMKG Guswanto mengatakan, suhu panas yang terjadi di Indonesia berkaitan dengan periode peralihan musim atau pancaroba, dari musim hujan ke kemarau. “Sebagian wilayah Indonesia mulai mengalami awal kemarau dan sebagian wilayah lainnya mengalami periode peralihan musim atau pancaroba. Sehingga, potensi fenomena suhu panas dan kondisi cerah di siang hari masih mendominasi cuaca secara umum di awal Mei 2024,” kata Guswanto dalam keterangan resmi.

Berdasarkan data BMKG, Senin, 6 Mei, suhu tertinggi di Indonesia diperkirakan terjadi di Semarang dan Surabaya, yakni mencapai 35°C. Sementara, DKI Jakarta suhu diperkirakan berkisar antara 24-32°C.

Kenaikan suhu yang tidak terkendali dapat memiliki dampak yang merugikan bagi lingkungan dan masyarakat secara keseluruhan. Oleh karena itu, langkah-langkah untuk mengurangi emisi karbon dan melindungi lingkungan harus terus ditingkatkan demi menjaga bumi kita dari dampak yang lebih buruk di masa depan.

Dengan demikian, pemerintah, masyarakat, dan seluruh pemangku kepentingan di Asia, khususnya di wilayah yang terdampak, perlu bekerja sama dalam menghadapi tantangan ini dengan cara yang berkelanjutan dan komprehensif.

Menurut laporan dari CBS News, gelombang panas yang sedang terjadi di Asia Selatan dan Tenggara dipicu oleh fenomena cuaca El Niño yang telah berlangsung sejak Maret 2023. Ini dipercaya telah memperburuk situasi, ditambah dengan pemanasan global yang semakin memperparah kondisi. Namun, para ilmuwan masih terbagi pendapat tentang seberapa besar peran El Niño dalam memicu gelombang panas tersebut.

“Saya pikir ini adalah gabungan dari El Niño, pemanasan global, dan perubahan musim. El Niño sendiri tengah bertransisi ke La Niña, dan ini adalah waktu ketika pemanasan maksimum terjadi di Samudera Hindia,” kata Raghu Murtugudde, ilmuwan iklim di Institut Teknologi India Mumbai kepada CBS News.

Namun, pandangan ini tidak sepenuhnya diterima oleh semua ilmuwan. Krishna AchutaRao, ilmuwan di Pusat Ilmu Atmosfer Institut Teknologi India, menyatakan keraguan terhadap peran El Niño dalam gelombang panas yang melanda Asia tahun lalu. Menurutnya, pola gelombang panas tidak selalu terkait langsung dengan El Niño.

Meski terdapat perbedaan pendapat, mayoritas ahli sepakat bahwa perubahan iklim merupakan salah satu penyebab utama dari panas ekstrem yang terjadi. World Weather Attribution (WWA) bahkan menyimpulkan bahwa gelombang panas seperti yang terjadi tahun ini tidak mungkin terjadi tanpa adanya perubahan iklim yang signifikan.

Meskipun Indonesia tidak terkena dampak gelombang panas seperti negara-negara tetangga, perubahan iklim tetap menjadi isu serius yang perlu diwaspadai. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles