oleh: Dani Kosasih
Pemerintah Indonesia menyatakan serius untuk mencapai target ambisius untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030. Salah satu upayanya adalah dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 98 Tahun 2021 tentang penyelenggaraan nilai ekonomi karbon (NEK) yang mulai berlaku 29 Oktober 2021.
Melalui keterangan resminya akhir tahun lalu, Kementerian Keuangan Republik Indonesia menjelaskan bahwa beleid ini dibuat untuk mengatur beberapa instrumen ekonomi seperti: penyelenggaraan perdagangan karbon, pungutan atas emisi karbon, dan pembayaran berbasis kinerja atas penurunan emisi karbon. Sektor strategis yang menjadi prioritas utama adalah sektor kehutanan, serta sektor energi dan transportasi yang telah mencakup 97% dari total target penurunan emisi komitmen target Nationally Determined Contribution (NDC) Indonesia.
Lahirnya peraturan ini menyusul berbagai kebijakan fiskal yang hadir lebih dahulu guna mendukung pencapaian target NDC. Sebut saja: pemberian insentif perpajakan, alokasi pendanaan perubahan iklim di tingkat kementerian/lembaga, Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) dan inovasi-inovasi pembiayaan melalui Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPLH), Sustainable Development Goals (SDG) Indonesia One. Inovasi kebijakan terakhir yang ditempuh adalah implementasi pajak karbon melalui penetapan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
Febrio N. Kacaribu, Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF), Kementerian Keuangan Republik Indonesia melalui siaran pers, mengatakan bahwa perlu berbagai instrumen kebijakan untuk dapat mencapai target NDC. Menurutnya, penetapan peraturan NEK harus mampu menjadi tonggak dalam menetapkan arah kebijakan Indonesia menuju target NDC 2030. Lebih jauh lagi, bahkan, pada dokumen terbaru NDC 2021, melalui long term strategy – low carbon and climate resilience (LTS – LTCCR), Indonesia juga telah menargetkan untuk mencapai Net Zero Emission (NZE) pada 2060.
Kebutuhan akan hadirnya Perpres ini dirasa mendesak, misalnya Perpres ini akan menjadi payung hukum bagi penerapan pasar karbon domestik yang akan melengkapi substansi UU No. 16/2016 tentang Pengesahan Perjanjian Paris yang tidak mencantumkan materi tersebut. Lebih jauh, Perpres NEK juga akan menjadi bagian dari upaya pemerintah dalam melibatkan sektor usaha agar program penurunan emisi bisa berjalan dengan baik.
Kajian dalam Jurnal Anggaran dan Keuangan Negara Indonesia 2021 bertajuk “Tantangan Administrasi Pengenaan Pajak Karbon di Indonesia,” juga menjelaskan bahwa skema pendekatan berbasis pasar seperti yang dilakukan pemerintah pada Perpres NEK atau Carbon Pricing merupakan langkah baik sebagai salah satu solusi yang dapat diterapkan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK). Tidak hanya itu, Carbon Market Watch melalui Policy Briefing-nya pada September 2017 juga menegaskan bahwa memberikan harga pada karbon berdasarkan prinsip bahwa “dia yang mencemari, maka dialah yang membayar” merupakan kebijakan yang sangat strategis.
Bangun komunikasi yang jelas
Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR), Fabby Tumiwa mengapresiasi terbitnya Perpres NEK. Fabby sepakat dengan penggunaan dua mekanisme cap and trade dan pajak karbon. Menurutnya, kombinasi dua mekanisme tersebut merupakan cara yang ideal bagi Indonesia untuk mengakselerasi penerapan nilai ekonomi karbon. Namun, Perpres ini juga tidak boleh malah membuat sektor usaha kebingungan.
Pemerintah, menurutnya, harus membangun jalur komunikasi yang lebih jelas dan transparan kepada dunia industri dan pelaku usaha terkait rencana penerapan NEK. Saat ini, tidak bisa dipungkiri bahwa muncul beberapa penolakan dari dunia industri di Indonesia. Penyebabnya, tidak lepas dari kurangnya informasi yang diterima dari pemerintah.
“Informasi ini harus jelas. Sektor industri banyak yang bertanya bagaimana mekanisme pajak karbon ini akan dikenakan? Bagaimana perhitungan dasarnya?” kata Fabby saat dihubungi oleh tanahair.net. Lebih jauh, tujuan dari peraturan NEK adalah mengurangi emisi karbon. Artinya, dia menegaskan, peraturan ini tentu harus mampu mendorong sektor industri atau ekonomi melakukan transformasi ke arah pembangunan yang lebih rendah emisi.
Mekanisme penerapan NEK
Mekanisme penetapan harga karbon akan sangat membantu mengalihkan beban kerusakan alam kepada mereka yang bertanggung jawab. Melalui mekanisme ini, pelaku pencemar akan mampu memutuskan sendiri apa yang harus dia lakukan. Dia bisa memilih antara menghentikan aktivitas pencemaran, mengurangi emisi, atau melanjutkan pencemaran lalu membayarnya. Bank Dunia dalam keterangan resminya menuturkan bahwa penetapan harga karbon akan merangsang teknologi bersih dan inovasi pasar serta mendorong pertumbuhan ekonomi baru yang rendah karbon.
Instrumen NEK sendiri ada dua jenis yaitu instrumen perdagangan dan non-perdagangan. Instrumen perdagangan di antaranya adalah carbon trading atau perdagangan karbon, yaitu kegiatan jual beli emisi karbon yang dapat dilakukan secara wajib (mandatory carbon market) maupun sukarela (voluntary carbon market).
Skema perdagangan karbon yang akan diterapkan oleh pemerintah adalah melalui perdagangan emisi atau dikenal juga dengan sistem cap-and-trade, dan offset emisi Gas Rumah Kaca (GRK). Perdagangan emisi merupakan sebuah mekanisme transaksi yang dilakukan antara pelaku usaha yang menghasilkan emisi melebihi Batas Atas Emisi GRK yang telah ditentukan. Sementara offset emisi GRK adalah mekanisme kompensasi untuk setiap emisi GRK yang dilepaskan oleh pelaku usaha melalui pendanaan kegiatan penurunan emisi di wilayah lain.
Sedangkan instrumen NEK non-perdagangan adalah pengenaan pajak karbon sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pajak karbon adalah jenis pajak yang dikenakan atas pemakaian bahan bakar berbasis karbon. Emisi karbon dalam artian ini adalah emisi karbon dioksida ekuivalen (CO2e).
Berdasarkan UU HPP, pajak karbon akan diterapkan secara bertahap berdasarkan peta jalan (roadmap) yang akan memuat strategi penurunan emisi karbon sesuai dengan NDC, sasaran sektor prioritas, serta kesiapan kondisi ekonomi negara. Pada Bab VI UU HPP Pasal 13, tertuang bahwa pengenaan tarif pajak karbon yang ditetapkan yaitu sebesar Rp30 per kilogram karbon CO2e. Tarif ini jauh di bawah rekomendasi World Bank dan IMF untuk negara berkembang, yaitu antara US$ 35 – US$ 100 per ton atau sekitar Rp 507.500 – Rp1,4 juta per ton, dengan asumsi kurs Rp14.500 per US$.
Kajian di dalam Jurnal Anggaran dan Keuangan Negara Indonesia 2021, menyebutkan bahwa sektor penggunaan lahan, perubahan penggunaan lahan dan kehutanan merupakan sektor penyumbang emisi terbesar di Indonesia. Oleh sebab itu, cara memitigasinya harus bersifat regulasi (common and control). Sedangkan penyumbang emisi terbesar kedua dan ketiga di Indonesia adalah sektor energi dan sektor transportasi, dimana kedua sektor ini dapat dikelola melalui mekanisme carbon pricing.
Saat ini, pemerintah tengah menyusun berbagai aturan turunan dari Perpres NEK, antara lain terkait tata laksana penyelenggaraan NEK dan NDC di Kementerian Lingkungan Hidup (KLHK) serta Komite Pengarah Nilai Ekonomi Karbon di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi.