Perempuan terdampak krisis iklim paling parah, kebijakan tak berpihak

Jakarta – Meski kontribusinya terhadap krisis iklim tergolong kecil, perempuan justru menjadi kelompok yang paling menderita akibat kerusakan lingkungan. Para pegiat perempuan mendiskusikan realitas ini dalam forum Ruang Setara dan Lestari yang digelar pada 13–14 Juni 2025.

Ketimpangan ini tidak hanya terjadi dalam pengalaman dampak, tetapi juga dalam partisipasi pengambilan keputusan dan penyusunan kebijakan iklim. “Selama ini, perempuan terdampak paling parah dari krisis iklim, tetapi tidak diberi ruang yang cukup untuk menentukan solusi,” ujar Sri Handayani Nasution, Communication Officer Humanis, yang akrab disapa Bolby dalam keterangan tertulis.

“Aksi iklim yang adil harus sensitif gender. Semua pemangku hak, termasuk perempuan, harus dilibatkan secara aktif.”

Acara ini diinisiasi oleh Yayasan Humanis dan Inovasi Sosial (Humanis) sebagai ruang bersama untuk memperkuat narasi keadilan iklim yang inklusif gender.

Kebijakan minim perspektif gender

Salah satu kritik utama dalam forum ini adalah ketidakpekaan kebijakan iklim terhadap pengalaman dan kebutuhan perempuan. Dalam banyak kasus, perempuan tak dilibatkan dalam forum formal pengambilan keputusan. Ini berdampak langsung pada kualitas kebijakan adaptasi dan mitigasi yang tidak menjawab persoalan riil yang mereka hadapi.

Sebagai contoh, saat bencana alam melanda, perempuan sering kali hanya diberi peran sekunder. Dalam pengambilan keputusan darurat, suara mereka tak didengar. Padahal, sebagai pengelola rumah tangga dan pelaku utama dalam urusan pangan dan air, perempuan memiliki perspektif penting tentang bagaimana merespons krisis iklim di tingkat lokal.

Di sesi Puan Bercerita, kisah nyata dari para perempuan penggerak di wilayah terdampak menghidupkan realitas ketimpangan itu.

Asmania, perempuan dari Pulau Pari, mengungkap bagaimana perjuangan perempuan kerap diredam bahkan di lingkup komunitasnya sendiri. “Sebagai perempuan yang berjuang, tantangannya tidak hanya dari luar. Seringkali, suara perempuan dipandang sebelah mata. Ketika rapat, hanya disuruh menyeduh kopi,” tuturnya.

Namun ia tidak menyerah. Asmania kini memimpin kelompok perempuan yang menanam mangrove dan membersihkan pantai untuk melindungi wilayahnya dari abrasi dan menghidupkan ekonomi wisata.

Cerita serupa datang dari Iren Fatagur, perempuan adat Keerom yang tergabung dalam FAMM Indonesia. Ia mengisahkan diskriminasi yang dialaminya saat bersuara di ruang publik.

“Ketika menyuarakan pendapat, saya pernah mendengar, perempuan jangan berbicara, lelaki sudah membuat keputusan,” ucap Iren.

Sementara itu, Farwiza Farhan dari Yayasan HAkA menegaskan, perempuan “Harus menjadi perempuan keras kepala yang percaya bahwa perubahan itu milik kita.”

Acara Ruang Setara dan Lestari menghadirkan lebih dari 20 komunitas dan organisasi yang bergerak di isu gender dan lingkungan. Selain diskusi, forum ini juga menampilkan pameran seni bertajuk Merawat Keresahan Bumi, pemutaran film Mendadak Sinema, pertunjukan Panggung Setara, serta berbagai aktivitas interaktif yang mengundang partisipasi publik, seperti Tur Tara Tari.

Menurut Bolby, kehadiran acara ini bukan sekadar ruang simbolik. Menurutnya ini adalah gerakan, ruang alternatif untuk mendobrak narasi tunggal dalam kebijakan iklim yang seringkali abai terhadap suara perempuan dan kelompok marginal. (Hartatik)

Foto banner: Patrick Sakyi/Wikimedia Commons

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles