Peran hidrogen menjanjikan dalam masa transisi energi

Jakarta – The Gas Exporting Countries Forum (GECF) atau Forum Negara Pengekspor Gas memproyeksikan permintaan hidrogen dapat mencapai 550 juta ton (mt) pada tahun 2050, atau hampir 10 persen dari total bauran energi.

Analis Teknologi Energi GECF, Seyed Mohsen Razavi mengatakan, permintaan hidrogen yang tinggi ini mencerminkan kompatibilitasnya sebagai vektor energi, namun juga menyoroti kebutuhan akan sarana produksi hidrogen yang bersih dan lebih efisien. Menurutnya, hidrogen ramah lingkungan yang diproduksi melalui elektrolisis air menggunakan tenaga terbarukan diperkirakan mencapai 48 persen dari produksi tahun 2050, dengan produksi sebesar 270 mt.

“Tingkat produksi ini akan membutuhkan listrik yang sangat besar, diperkirakan mencapai 12.000 terawatt hour (TWh). Ini setara dengan 43 persen pembangkit listrik tahunan dunia saat ini, atau empat kali lipat pembangkit listrik angin dan matahari saat ini, atau total pembangkit listrik saat ini di China dan AS,” ungkapnya dalam keterangan tertulis.

Lebih lanjut, GECF dalam kerangka Accelerated Energy Decarbonisation Scenario (AEDS) melaporkan bahwa total kebutuhan energi untuk pembangkit listrik terbarukan diperkirakan mencapai 46.000 TWh per tahun dari matahari dan angin pada 2050. Permintaan daya terbarukan dalam jumlah besar ini lebih dari 12 kali lebih tinggi daripada generasi saat ini dari angin dan matahari sekitar 3.600 TWh. . Kebutuhan akan energi terbarukan dalam jumlah besar ini mengharuskan untuk mempertimbangkan sebagian besar produksi hidrogen dari metode lain yang tersedia, kompetitif, dan matang, seperti hidrogen biru berbasis gas alam.

AEDS memperkirakan sekitar 220 mt hidrogen akan dihasilkan menggunakan gas alam dengan carbon capture and storage (CCS). Ini terhitung 40 persen dari total produksi tahun 2050. Tingkat produksi hidrogen ini akan membutuhkan lebih dari 930 miliar meter kubik gas alam. Gasifikasi batubara dengan CCS diharapkan berkontribusi sekitar 10 persen atau 54 mt produksi hidrogen.

“Daya saing biaya dari berbagai metode produksi hidrogen ini merupakan faktor kunci yang akan memengaruhi penetrasi dan adopsi pasar,” imbuhnya. Sebab, menurut Seyed, biaya hidrogen biru dan hijau bervariasi tergantung pada beberapa faktor, seperti lokasi, metode produksi, dan skala produksi.

Hidrogen biru adalah opsi yang lebih kompetitif dari segi biaya dibandingkan hidrogen hijau, karena memanfaatkan infrastruktur gas alam dan teknologi CCS yang ada. Saat ini, biaya rata-rata hidrogen biru diperkirakan sekitar 1,5-3 USD per kilogram hidrogen, sedangkan biaya hidrogen hijau lebih tinggi, berkisar antara 3-6 USD per kilogram.

Namun, karena sumber energi terbarukan menjadi lebih murah dan tersebar luas, hidrogen hijau diharapkan dapat meningkatkan daya saing biaya dan mendapatkan pangsa pasar yang besar. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles