Pengamat: Pemerintah harus reformasi fiskal, naikkan pajak batu bara untuk atasi ketimpangan ekonomi

Jakarta – Para pengamat menilai ketimpangan ekonomi di Indonesia kian mengkhawatirkan, meski pertumbuhan ekonomi tetap stabil. Mereka mendesak pemerintah segera melakukan reformasi fiskal yang lebih berpihak pada keadilan sosial, salah satunya dengan mengenakan pajak lebih tinggi terhadap industri batubara.

“Reformasi fiskal perlu diarahkan pada dua hal: meningkatkan penerimaan dari kelompok kaya dan mengalokasikan belanja negara untuk mengurangi ketimpangan. Selama ini, kebijakan justru memperkuat dominasi kelompok elit,” ujar Tata Mustasya, peneliti dari SUSTAIN, Senin, 1 September.

Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan gini ratio Indonesia pada Maret 2025 tercatat di angka 0,375, relatif stagnan dalam lima tahun terakhir. Gini ratio adalah ukuran statistik yang menunjukkan tingkat kesenjangan distribusi pendapatan suatu wilayah.

Namun, menurut para ekonom, angka riil ketimpangan jauh lebih tinggi. Bahkan, World Inequality Report 2022 mengungkapkan, pendapatan rata-rata 1 persen penduduk terkaya di dunia mencapai lebih dari 73 kali lipat dibandingkan 50 persen penduduk terbawah. Ironisnya, kelompok terkaya juga menghasilkan emisi karbon 30 kali lebih banyak dibandingkan separuh penduduk dengan penghasilan terendah.

Kajian SUSTAIN menunjukkan, dengan menaikkan pungutan produksi batu bara, negara berpotensi memperoleh tambahan penerimaan Rp84,55 triliun hingga Rp353,7 triliun per tahun. Dana ini dapat dipakai untuk mendanai program perlindungan sosial, pendidikan, layanan publik, serta transisi menuju energi terbarukan.

Hal senada disampaikan Direktur Program Trend Asia, Ahmad Ashov Birry. Ia menilai kontribusi sektor ekstraktif terhadap penerimaan negara masih sangat kecil dibandingkan potensinya.

“Pemerintah harus segera melirik pajak progresif, baik kepada 1 persen penduduk terkaya maupun industri ekstraktif padat karbon. Ini penting untuk pemerataan kesejahteraan sekaligus membatasi kekuasaan oligarki yang kerap mempengaruhi kebijakan lewat kekuatan modal,” tegas Ashov.

Menurutnya, langkah ini juga akan memperkuat posisi fiskal negara agar tidak lagi bergantung pada beban masyarakat kelas menengah dan bawah yang selama ini menjadi tumpuan utama pajak konsumsi.

Desakan reformasi fiskal ini dipandang krusial menjelang periode pemerintahan baru di bawah Presiden Prabowo Subianto.

“Dalam jangka panjang, pemerintah harus menempatkan kesejahteraan berkelanjutan sebagai arah pembangunan. Artinya, pertumbuhan ekonomi tidak boleh mengorbankan keadilan sosial dan kelestarian lingkungan,” kata Tata menambahkan. (Hartatik)

Foto banner: shutterstock.com

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles