Pengamat: Impor migas AS berisiko, pemerintah harus cermat hitung biaya dan logistik

Jakarta – Para pengamat menilai rencana pemerintah mengimpor minyak dan gas (migas) hingga USD15 miliar dari Amerika Serikat sebagai bagian dari diversifikasi pasokan, berpotensi membebani logistik nasional dan memunculkan risiko terhadap stabilitas stok dalam negeri.

Direktur Eksekutif Reforminer Institute, Komaidi Notonegoro, Kamis, 24 Juli, menilai impor migas dari AS harus memperhitungkan seluruh aspek secara matang. “Selama ini kita terbiasa impor dari negara-negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia. Kalau tiba-tiba volume dari Amerika melonjak drastis, dari USD2 miliar menjadi USD15 miliar, itu akan mengubah seluruh struktur rantai pasok kita,” ujar Komaidi.

Komaidi menyoroti bahwa pengiriman migas dari Amerika Serikat, khususnya dari Texas atau kawasan Teluk Meksiko, membutuhkan waktu tempuh 30 hingga 40 hari, jauh lebih lama dibandingkan impor dari Afrika atau Timur Tengah yang rata-rata hanya memakan waktu 10 hari. Hal ini berkonsekuensi pada biaya sewa kapal dan asuransi, dan dampak keterlambatan yang berdampak langsung pada ketahanan stok nasional yang maksimal hanya 23 hari.

Rencana peningkatan impor migas dari AS secara otomatis akan menggeser porsi pasokan dari negara lain, khususnya Singapura yang selama ini menjadi pemasok terbesar Indonesia untuk produk petroleum oil.

“Singapura bukan cuma pemasok, mereka juga investor utama di sektor energi kita. Kalau digeser, tentu ada implikasi politik dan ekonomi yang harus dipikirkan. Apalagi hubungan bilateral kita dengan kawasan ASEAN sangat erat,” jelas Komaidi.

Berdasarkan data tahun 2024, produk petroleum gas dari Amerika Serikat memang menunjukkan tren peningkatan, yakni USD2,03 miliar, naik dari tahun sebelumnya sebesar USD1,54 miliar. Namun untuk produk petroleum oil, AS hanya menyumbang USD19 juta, berada jauh di bawah negara tetangga.

Harus ada kejelasan skema

Komaidi juga mempertanyakan mekanisme pembelian migas dari AS. Jika dilakukan langsung dari Amerika, maka tantangan logistik menjadi nyata. Namun jika pembelian dilakukan melalui perusahaan-perusahaan AS yang beroperasi di negara ketiga, seperti Singapura atau Qatar, maka sistem swap atau perjanjian bilateral harus dirancang dengan jelas.

“Kita tidak tahu seperti apa skema deal-nya. Apakah dari AS langsung? Atau dari Exxon yang ada di negara lain? Ini perlu dibuka ke publik agar masyarakat tahu konteks sebenarnya,” kata Komaidi.

Di tengah upaya global mendorong transisi energi, Indonesia tetap menunjukkan bahwa migas masih berperan strategis dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional dan menjadi alat tawar penting dalam negosiasi perdagangan internasional.

“Migas belum sunset, buktinya pemerintah masih mengandalkan komoditas ini untuk jaminan energi dan diplomasi. Tapi keputusan harus berdasarkan data dan perhitungan matang. Jangan hanya karena momen atau tekanan politik, kita ambil risiko logistik dan ekonomi yang besar,” pungkas Komaidi. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2025)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles