Jakarta – Para ilmuwan mengatakan bahwa rangkaian badai ekstrem yang menerjang Asia Tenggara dalam beberapa pekan terakhir bukan sekadar akibat dinamika cuaca tropis, melainkan bagian dari pola kerusakan yang diperburuk oleh krisis iklim dan ketergantungan panjang kawasan terhadap bahan bakar fosil. Mereka memperingatkan bahwa badai-badai seperti Senyar, Koto, dan Ditwah menjadi bukti nyata bagaimana emisi karbon telah memperkuat intensitas cuaca ekstrem di kawasan yang sensitif terhadap pemanasan global ini.
Direktur Riset Centre National de la Recherche Scientifique (CNRS) Prancis, Davide Faranda, Selasa, 2 Desember, menggambarkan fenomena badai ekstrem yang terjadi di Asia Tenggara sebagai akumulasi krisis yang sudah berlangsung lama. Ia menegaskan bahwa perubahan iklim yang memanaskan atmosfer dan laut telah menyiapkan “bahan bakar” tambahan bagi badai tropis.
“Apa yang kita saksikan di Asia Tenggara adalah siklus badai yang tak henti-hentinya. Ribuan rumah telah hancur dalam badai baru-baru ini, tetapi yang terjadi adalah sebuah pola, akumulasi peristiwa bencana,” ungkap Faranda.
Faranda memperingatkan bahwa masyarakat tidak boleh melihat rangkaian badai ini sebagai kejadian musiman biasa. Ia menyatakan bahwa selama kawasan ini masih bergantung pada energi fosil dan lambat beradaptasi terhadap iklim ekstrem, kerusakan sosial-ekonomi akan terus meningkat.
“Jika tidak segera menghentikan bahan bakar fosil dan berinvestasi dalam strategi adaptasi, Asia Tenggara akan terus menghadapi kerusakan sosial-ekonomi dan krisis kemanusiaan yang semakin meningkat,” katanya.
Ia menambahkan bahwa dunia sains sudah sangat jelas: atmosfer yang lebih hangat mampu menahan lebih banyak uap air, menghasilkan curah hujan yang lebih deras, sementara laut yang lebih panas memberikan energi tambahan bagi badai tropis.
“Dampaknya, siklon atau badai menjadi lebih kuat dan merusak,” tegas Faranda.
Selain memperkuat badai, emisi fosil juga berkaitan langsung dengan meningkatnya kerugian ekonomi global. Faranda mencontohkan bahwa satu ton CO₂ yang dihasilkan perusahaan bahan bakar fosil telah berkontribusi pada kenaikan kerugian ekonomi hingga USD 28 triliun akibat cuaca ekstrem dalam periode 1991–2020.
Peringatan ilmiah ini mendapat penguatan dari kelompok lingkungan. Iqbal Damanik, Climate and Energy Campaign Manager Greenpeace Indonesia, menilai bencana yang melanda Sumatra dan sejumlah wilayah Asia Tenggara bukan hanya dampak fisik dari badai tropis, tetapi juga cermin dari tata kelola sumber daya alam dan energi yang keliru.
“Bencana ini adalah akumulasi dari tata kelola lahan dan energi yang buruk, serta kebijakan yang hanya menguntungkan segelintir kelompok. Saatnya menerapkan prinsip pencemar membayar karena bencana yang terjadi bukan hanya disebabkan faktor alam tunggal, tapi karena eksploitasi alam berlebih oleh perusahaan dan negara yang mengatasnamakan pembangunan,” paparnya.
Iqbal menekankan bahwa badai yang kian memburuk harus dilihat sebagai bagian dari krisis iklim global. Di berbagai negara Asia Tenggara, kajian ilmiah menunjukkan peningkatan daya rusak badai dan taifun akibat pemanasan global. Banyak studi baru yang mengaitkan kekuatan badai itu dengan naiknya suhu permukaan laut dan perubahan pola angin.
Sejumlah temuan ilmiah memperlihatkan bagaimana krisis iklim mempengaruhi siklus badai. Di Filipina, misalnya, ilmuwan menemukan bahwa musim taifun tahun 2024 diperkuat oleh pemanasan global. Kajian lain menunjukkan Taifun Super Ragasa menjadi lebih basah dan lebih berangin akibat perubahan iklim. Penelitian serupa juga mendapati Taifun Gaemi mengalami peningkatan curah hujan dan kecepatan angin, sehingga menimbulkan kerusakan parah di wilayah barat Pasifik.
Kombinasi dari sumber panas tambahan di atmosfer, lautan yang menghangat, serta lemahnya perlindungan ekosistem membuat badai-badai ini berkembang lebih cepat dan menghantam lebih kuat. Para ilmuwan sepakat bahwa selama ketergantungan bahan bakar fosil terus berlanjut, badai yang lebih intens seperti Senyar, Koto, dan Ditwah akan menjadi ancaman tahunan—dan bahkan mungkin semakin mematikan.
Dengan demikian, para ahli menilai bahwa badai ekstrem yang semakin sering terjadi bukan sekadar peringatan, tetapi panggilan mendesak bagi pemerintah di Asia Tenggara untuk meninggalkan bahan bakar fosil, memperkuat kebijakan adaptasi, serta memastikan bahwa perlindungan masyarakat rentan menjadi prioritas di era krisis iklim ini. (Hartatik)
Foto banner: Drew McArthur/shutterstock.com


