
Jakarta — Pada Forum Pemuda Global (GYF) yang baru-baru ini diadakan di Bali, lebih dari 50 pemimpin muda dari 27 negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin berkumpul untuk dialog antar generasi dengan para sesepuh dan pembela hak asasi manusia. Acara ini menyoroti peran krusial pemuda asli dalam melestarikan keanekaragaman hayati dan mempromosikan keadilan iklim.
“Kearifan ini tidak hanya menjaga harmoni manusia dan alam, tetapi juga membuka potensi ekonomi berkelanjutan, misalnya pangan lokal, hasil hutan non-kayu, dan kerajinan tradisional,” kata Cindy Yohana dari Barisan Pemuda Adat Nusantara (BPAN) dalam pernyataan pada Jumat, 3 Oktober.
Dulu sering diabaikan dalam pengambilan keputusan terkait hutan, sungai, dan tanah leluhur, pemuda-pemuda adat kini mulai tampil di panggung global untuk menuntut peran dalam menentukan masa depan planet ini.
Menuju COP30 di Brasil
Pesanan dari Bali akan segera sampai ke forum iklim terbesar di dunia, COP30 di Brasil pada November ini, di mana pemuda adat berencana untuk mendesak partisipasi yang berarti dalam membentuk kebijakan iklim global.
Hero Aprila, Ketua BPAN mengatakan bahwa dengan hutan tropis Indonesia yang merupakan yang ketiga terbesar di dunia, suara pemuda adat sangat mendesak. Menurutnya, “sebagai generasi muda, kita harus bersuara dan berperan aktif hingga terlibat secara bermakna dalam setiap forum pengambilan keputusan, bukan hanya ikut-ikutan saja.”
Globalisasi terus menimbulkan ancaman serius bagi komunitas adat. Funa-ay Claver dari Asia Young Indigenous Peoples Network (AYIPN), Filipina, menyoroti pelanggaran hak atas tanah dan pengusiran paksa yang didorong oleh perluasan korporasi, sementara Elnathan Nkuli dari Republik Demokratik Kongo mencatat penebangan liar dan pertambangan ilegal di wilayah masyarakat adat.
Namun, globalisasi juga menawarkan peluang melalui pendidikan, jaringan internasional, dan alat digital untuk memperkenalkan identitas budaya. “Teknologi sebenarnya membantu kita menunjukkan cara berburu, mengambil madu, atau berkebun sebagai bagian dari identitas budaya,” kata Hero.
Pendidikan dan pemberdayaan
BPAN dan organisasi induknya, AMAN, sedang membangun sekolah-sekolah adat di seluruh Indonesia untuk mentransfer pengetahuan tradisional dari para sesepuh kepada generasi muda. Pelajaran berlangsung di hutan, sungai, dan gunung, di mana anggota komunitas bertindak sebagai guru dalam bidang tenun, berburu, dan pertanian berkelanjutan.
Inisiatif serupa juga terjadi di seluruh dunia. Di Kongo, program pelatihan untuk perempuan adat telah mengurangi deforestasi sebesar 40% melalui teknik produksi arang yang lebih baik, sementara AYIPN meluncurkan kampanye “Indigenous Lands in Indigenous Hands” (ILIH) atau “Tanah Adat di Tangan Masyarakat Adat” untuk mempersatukan pemuda adat di seluruh dunia dalam memperjuangkan hak-hak mereka dan melindungi sumber daya alam.
Melalui pertukaran, kampanye bersama, dan advokasi regional, BPAN dan jaringan lain memperkuat kepemimpinan dan solidaritas pemuda adat. “Melalui kolaborasi ini, Pemuda Adat bisa saling belajar strategi menjaga budaya, melindungi wilayah adat, serta memperkuat posisi bersama dalam menghadapi krisis global seperti perubahan iklim dan perampasan tanah,” tambah Cindy. (nsh)
Foto banner: Pemuda Adat bertukar cerita dengan para orang tua (Sumber: BPAN)