Jakarta – Pemerintah resmi menerbitkan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 6 Tahun 2025 yang mengatur penyelesaian pembangunan fasilitas pemurnian mineral logam di dalam negeri. Regulasi ini menjadi dasar bagi PT Freeport Indonesia (PTFI) untuk kembali mendapatkan izin ekspor konsentrat tembaga setelah kebakaran yang melanda smelternya pada Oktober 2024.
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa aturan ini telah melalui proses pembahasan lintas kementerian sebelum akhirnya disetujui oleh Presiden Prabowo Subianto. Menurutnya, kebijakan ini memberikan dispensasi bagi perusahaan yang tengah membangun smelter namun mengalami kondisi kahar, termasuk bencana atau kejadian tak terduga lainnya.
“Peraturan Menteri sudah kami terbitkan, dan ini merupakan hasil dari keputusan rapat terbatas yang langsung dipimpin oleh Presiden,” ujar Bahlil dalam konferensi pers, Jumat, 7 Maret.
Dalam regulasi terbaru tersebut, Freeport diberikan izin untuk mengekspor konsentrat selama enam bulan ke depan. “Masa berlaku izin ekspor ini adalah enam bulan sejak diterbitkan. Pemerintah akan mengevaluasi progres pembangunan smelter setiap tiga bulan,” tambah Bahlil.
Freeport sebelumnya telah mengajukan rekomendasi ekspor bersamaan dengan revisi Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). Bahlil mengungkapkan bahwa jumlah konsentrat yang diajukan untuk diekspor mencapai satu juta ton. “Kuotanya sekitar satu juta ton hingga lebih dari itu. Kita akan melihat perkembangan selama enam bulan mendatang,” jelasnya.
Izin ekspor yang diberikan ini berlaku hingga September 2025, dan Freeport diwajibkan memastikan pembangunan serta perbaikan smelternya berjalan sesuai target.
Ketentuan ekspor dalam regulasi baru
Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (Permen ESDM) No. 6 Tahun 2025 mengatur lebih lanjut mengenai izin ekspor bagi perusahaan yang mengalami kondisi kahar. Regulasi ini menetapkan bahwa penjualan hasil pengolahan ke luar negeri diperbolehkan dengan batasan tertentu bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang smelternya mengalami gangguan akibat keadaan kahar.
Keadaan kahar sendiri harus ditetapkan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia dan dapat menjadi pertimbangan dalam klaim asuransi atas fasilitas pemurnian. Selain itu, ekspor hanya diizinkan dengan mempertimbangkan beberapa faktor, seperti kecukupan bahan baku dalam negeri, keberlanjutan kegiatan usaha pertambangan, pencegahan pemutusan hubungan kerja, optimalisasi penerimaan daerah dan negara, serta memastikan perbaikan fasilitas pemurnian dalam periode yang telah ditentukan.
Dalam regulasi ini, keadaan kahar didefinisikan sebagai peristiwa di luar kendali manusia yang tidak disengaja dan tak terhindarkan. Adapun ekspor hanya dapat dilakukan jika perusahaan memenuhi persyaratan batas minimum pengolahan sesuai dengan ketentuan yang berlaku serta membayar bea keluar yang telah ditetapkan.
Dengan kebijakan ini, pemerintah berharap dapat memberikan solusi bagi Freeport dan industri pertambangan lainnya yang menghadapi tantangan dalam pembangunan smelter, sekaligus tetap mendorong hilirisasi mineral sesuai dengan visi jangka panjang sektor energi dan pertambangan Indonesia. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)