Jakarta – Pemerintah Indonesia tengah menyusun kebijakan baru untuk memperkuat penerimaan negara dari sektor pertambangan. Melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pemerintah berencana menerapkan bea keluar terhadap ekspor batu bara dan emas, namun hanya akan diberlakukan saat harga kedua komoditas tersebut melambung tinggi di pasar global.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, Jumat, 18 Juli, mengatakan bahwa kebijakan ini dirancang agar tidak membebani pelaku usaha ketika harga komoditas sedang rendah, tetapi tetap memberi ruang bagi negara untuk ikut menikmati keuntungan ketika harga melonjak.
“Kita tidak ingin menyulitkan pengusaha saat harga batubara jatuh. Tapi kalau harganya naik tajam dan keuntungannya tinggi, wajar dong negara ikut menikmati. Kita buat mekanisme yang adil,” ujar Bahlil.
Ia menegaskan bahwa penetapan tarif bea keluar akan berbasis pada harga keekonomian. Artinya, jika harga batu bara atau emas melebihi ambang nilai keekonomian yang ditetapkan, maka bea ekspor akan mulai diberlakukan.
Berlaku bertahap, mulai 2026
Kebijakan ini tidak serta-merta diberlakukan dalam waktu dekat. Menurut Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara (Dirjen Minerba) Kementerian ESDM, Tri Winarno, implementasi kebijakan bea keluar kemungkinan baru akan dimulai pada tahun 2026, dengan mempertimbangkan kondisi pasar dan kesiapan regulasi.
“Iya, rencananya tahun depan akan mulai disiapkan, tapi kemungkinan baru diterapkan mulai 2026. Kita lihat juga tren harga dan kesiapan pelaku usaha,” ujar Tri Winarno saat dikonfirmasi.
Penerapan bea keluar pada batu bara dan emas dirancang sebagai mekanisme fleksibel yang mengikuti pergerakan harga internasional. Pemerintah menargetkan skema ini bisa menjadi salah satu sumber pendapatan negara tambahan tanpa mengganggu iklim investasi dan stabilitas usaha sektor pertambangan.
Saat ini, harga batu bara dan emas memang cenderung volatil. Dalam beberapa tahun terakhir, lonjakan harga batu bara global sempat memberikan windfall bagi pelaku industri, namun kontribusi langsung ke penerimaan negara belum maksimal karena belum adanya skema bea keluar yang bersifat dinamis.
Pemerintah berharap, aturan ini tidak hanya memperkuat kas negara, tetapi juga mendorong pemanfaatan sumber daya alam secara lebih adil dan berkelanjutan.
“Kita jaga keseimbangan. Investasi harus tetap berjalan, tapi negara juga berhak atas nilai tambah saat sumber daya kita laku keras di luar negeri,” tutup Bahlil. (Hartatik)
Foto banner: Pexels.com