Pemerintah diimbau gantikan pembangunan ekstraktif dengan restoratif kerakyatan pasca amuk massa

Jakarta – Sejumlah aktivis menilai, gelombang amuk massa yang pecah di sejumlah kota pada akhir Agustus 2025 bukan sekadar insiden spontan, melainkan akibat akumulasi ketidakadilan sosial yang lahir dari model pembangunan ekstraktif.

“Amuk massa di akhir Agustus adalah sinyal jelas bahwa ada yang salah dalam model pembangunan kita,” ujar Firdaus Cahyadi, Founder Indonesian Climate Justice Literacy, Selasa, 2 September.

Insiden yang memicu kemarahan masyarakat bermula dari tewasnya seorang pengemudi ojek online yang tertabrak mobil Polisi ketika aksi demonstrasi menentang kenaikan tunjangan DPR berlangsung. Tragedi itu, di tengah kesulitan ekonomi rakyat, memicu gelombang protes luas yang kemudian berujung pada kerusuhan di berbagai daerah.

Menurut Firdaus, akar persoalan tidak bisa dilepaskan dari pola pembangunan yang hanya mengandalkan ekstraksi sumber daya alam. “Model pembangunan ekstraktif bukan hanya merusak ekosistem, tapi juga melahirkan kemiskinan baru, serta menumpuknya kekayaan di tangan segelintir orang—kaum oligarki,” tegasnya.

Data ketimpangan ekonomi Indonesia, kata Firdaus, menunjukkan jurang yang makin menganga. “Ketimpangan sosial adalah keniscayaan dari pembangunan ekstraktif. Sayangnya, pemerintah dan sebagian elite DPR justru memperlihatkan ketidakadilan sosial ini secara telanjang,” tambahnya.

Seruan perubahan arah pembangunan

Pasca peristiwa Agustus, Firdaus mendesak agar pemerintah segera meninggalkan pendekatan lama dan beralih pada model pembangunan restoratif kerakyatan. “Restoratif artinya pembangunan harus menjaga keseimbangan ekosistem sekaligus menempatkan masyarakat sebagai aktor utama. Sejak tahap perencanaan, rakyat harus dilibatkan agar tumbuh rasa memiliki. Inilah cara mencegah ledakan sosial seperti kemarin,” jelasnya.

Namun, menurutnya, respons pemerintah justru mengecewakan. Alih-alih mengevaluasi kebijakan pembangunan, negara disebut memilih menempelkan label negatif pada aksi massa dan mengerahkan militer ke ruang sipil. “Ini mirip dengan pola rezim Orde Baru. Mungkin bisa meredam kemarahan jangka pendek, tapi selama ketidakadilan dari pembangunan ekstraktif dibiarkan, kemarahan rakyat pasti akan terulang,” kata Firdaus.

Firdaus juga memperingatkan bahaya bila negara terus mengandalkan pendekatan represif. “Jika Indonesia berubah menjadi negara fasis militeristik, peluang untuk membangun model ekonomi restoratif akan semakin kecil. Sebaliknya, pembangunan ekstraktif akan makin menguat untuk membiayai belanja senjata dan menjaga kepentingan segelintir elite,” tegasnya.

Ia menambahkan, suara publik sangat penting untuk mendorong perubahan. “Masyarakat harus terus bersuara agar pemerintah tidak menjadikan Indonesia sekadar mesin ekonomi ekstraktif yang hanya menguntungkan oligarki, sambil menutup ruang demokrasi,” tutupnya. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2025)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles