Pegiat iklim: Akuntabilitas pasca-COP30 lemah, Indonesia harus segera perbaiki implementasi komitmen iklim

Jakarta – Setelah Konferensi Iklim PBB (COP30) di Belém gagal melahirkan keputusan tegas mengenai penghapusan bahan bakar fosil, sorotan kini mengarah ke kemampuan Indonesia menjaga komitmen iklimnya sendiri. Para peneliti dan lembaga lingkungan memperingatkan bahwa lemahnya akuntabilitas dan tata kelola aksi iklim di dalam negeri bisa membuat janji Indonesia di panggung internasional kembali berhenti pada retorika.

Climate Action Senior Lead World Resources Institute (WRI), Wira A. Swadana, Jumat, 5 Desember, menyampaikan kritik keras atas hasil negosiasi COP30 yang bertujuan untuk fokus pada agenda transisi energi. “Dalam teks ‘Global Mutirão’, tidak ada frasa yang berhubungan dengan transisi energi, seperti arahan pada fase bahan bakar fosil. Tidak ada roadmap, dan masih bersifat voluntary, jadi tidak mengikat untuk komitmen phase out fosilnya juga tidak jelas,” ujarnya.

Dokumen akhir COP30, “Global Mutirão”, tidak memuat arahan eksplisit untuk menghentikan penggunaan bahan bakar fosil. Absennya roadmap yang mengikat dianggap mencerminkan rapuhnya komitmen negara-negara terhadap target Nationally Determined Contribution (NDC), termasuk Indonesia.

Menurut Wira, lemahnya komitmen global ini juga tercermin dari minimnya dukungan terhadap Deklarasi Belém tentang transisi energi yang adil. Hanya 24 negara terdampak perubahan iklim yang menandatanganinya, jauh dari harapan untuk mendorong tekanan internasional yang lebih kuat terhadap negara-negara penghasil dan pengguna fosil terbesar.

Ia memperingatkan kondisi tersebut bisa berdampak langsung ke Indonesia, terutama terkait akses pendanaan melalui mekanisme transisi energi seperti Just Transition Mechanism. Dukungan internasional yang lemah justru dapat memindahkan beban kepada negara-negara seperti Indonesia yang masih bergantung pada batubara.

Di dalam negeri, para peneliti menilai celah akuntabilitas jauh lebih mengkhawatirkan. Peneliti dari Research Center for Climate Change (RCCC) Universitas Indonesia, Riko Wahyudi, menegaskan bahwa pencapaian iklim Indonesia selama ini tidak memberi gambaran stabil tentang keberhasilan menekan emisi.

“Keberhasilan Indonesia mempertahankan emisi di bawah baseline NDC periode sebelumnya tidak lepas dari penurunan aktivitas ekonomi saat pandemi Covid-19. Namun, emisi nasional langsung menanjak dan sudah mendekati baseline begitu pandemi berakhir,” katanya.

Riko menilai akar masalah terletak pada tata kelola iklim yang belum mencakup semua aksi secara terukur. Saat ini, hanya aksi yang masuk dalam dokumen NDC yang menjalani mekanisme pengukuran, pelaporan, dan verifikasi (MRV). Bahkan proses tersebut pun belum seragam antar sektor karena belum ada mandat sektoral yang jelas.

“Cakupan NDC Indonesia bisa saja lebih luas, namun bila mandat sektoral tidak jelas tetap akan bermasalah,” tegasnya.

Ia juga memperingatkan bahwa kelemahan dalam pencapaian target emisi nasional dapat berakibat fatal bagi posisi Indonesia dalam perdagangan karbon internasional di bawah mekanisme Pasal 6 Perjanjian Paris.

“Jangan sampai kita aktif di mekanisme internasional seperti perdagangan karbon (Artikel 6), tetapi target NDC sendiri tidak tercapai pada 2030. Karena lucu, sudah jualan target, tapi emisi tidak turun. Maka kita harus akan lebih bayar lebih tinggi lagi,” ujarnya.

Situasi ini menempatkan Indonesia pada posisi kritis. Tekanan global terhadap batubara justru akan semakin meningkat pasca-COP30, namun komitmen nasional belum memiliki fondasi akuntabilitas, kelembagaan, dan sistem pelaporan yang kuat.

Riko menekankan bahwa Indonesia membutuhkan peta jalan transisi energi yang jelas, komprehensif, dan berlandaskan pada keberpihakan politik yang kuat.

“Kalau NDC ini tidak tercapai, jangankan net sink di sektor FOLU (forestry and other land use), net zero pun masih belum tentu. Untuk itu di sektor energi ke depannya, commitment political will itu penting, roadmap-nya dibentuk secara komprehensif dan inklusif, safeguard-nya, yang mengintegrasikan GEDSI juga dibentuk, dan upaya transisi energi itu juga dijalankan. Jangan sekedar omongan saja,” katanya.

Dengan ketidakpastian global pasca-COP30 dan kerentanan domestik di sisi akuntabilitas, para ahli menilai Indonesia kini harus bergerak cepat. Tanpa perbaikan tata kelola, komitmen iklim Indonesia dikhawatirkan hanya akan menjadi daftar janji yang tidak pernah diwujudkan, sementara dampak krisis iklim semakin memburuk dari tahun ke tahun. (Hartatik)

Foto banner: Para delegasi berbincang santai sebelum dimulainya sidang pleno penutupan COP30 UNFCCC (Foto: © UN Climate Change – Kiara Worth)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles