Jakarta – Pakar Ekonomi Energi dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Dr Fahmy Radhi MBA, menanggapi komitmen presiden Prabowo Subianto untuk membawa Indonesia mencapai swasembada energi dalam masa pemerintahannya. Fahmi menyambut baik namun, ia menggarisbawahi tantangan besar yang dihadapi Indonesia dalam mewujudkan swasembada energi, terutama keterbatasan teknologi.
Presiden Prabowo dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden RI untuk periode 2024-2029, berjanji membawa Indonesia mencapai swasembada energi dalam 4 hingga 5 tahun ke depan, termasuk mengembangkan energi baru terbarukan (EBT) dengan memanfaatkan berbagai sumber daya energi yang melimpah di tanah air, seperti kelapa sawit, singkong, tebu, panas bumi, dan energi matahari.
“Masalah utama yang dihadapi Indonesia adalah tidak adanya teknologi yang memadai untuk mengolah sumber daya alam menjadi energi terbarukan secara mandiri,” ujar Fahmy dalam keterangan tertulis, Senin, 21 Oktober.
Fahmy mencontohkan sejumlah proyek energi terbarukan yang mengalami kendala akibat kurangnya teknologi dan dukungan investor. Salah satunya adalah pengembangan biodiesel berbasis kelapa sawit, yang sebelumnya sempat digagas oleh Pertamina.
“Pertamina sempat menjalankan program biodiesel dengan mencampur solar dan minyak sawit, dimulai dengan B-20, lalu B-35, dan B-40. Namun, program ini terhenti karena partner usaha dari Italia memutuskan kerja sama,” jelasnya. Ia mencontohkan gagalnya program gasifikasi batu bara akibat mundurnya mitra dari Amerika Serikat, Air Product.
Untuk mencapai swasembada energi, Fahmy menyarankan agar pemerintah segera mengambil langkah strategis dalam dua bidang utama. Pertama, menggandeng investor asing yang memiliki teknologi canggih dalam pengolahan energi terbarukan. Menurutnya, kerjasama dengan perusahaan internasional sangat penting mengingat ketertinggalan teknologi Indonesia di sektor ini.
Selain itu, Fahmy menekankan pentingnya penguatan riset dan pengembangan di dalam negeri. “Strategi kedua yang perlu ditempuh adalah memperkuat riset dengan melibatkan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) serta universitas-universitas dalam negeri,” ungkapnya. Dengan mengembangkan teknologi sendiri, Indonesia tidak akan terus bergantung pada pihak asing di masa depan.
Namun, Fahmy juga memperingatkan bahwa upaya pengembangan riset ini memerlukan komitmen jangka panjang, baik dari sisi anggaran maupun dukungan kebijakan. “Riset dan pengembangan teknologi butuh waktu dan dana yang besar. Pemerintah harus memiliki komitmen yang berkelanjutan untuk mendukung inovasi ini,” katanya. (Hartatik)