Jakarta – Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Bisman Bachtiar, menilai bahwa skema power wheeling tidak layak dimasukkan dalam Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (RUU EBET). Menurutnya, skema ini bertentangan dengan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 dan proses pembahasannya pun dinilai kurang transparan.
“Ada beberapa hal dalam RUU EBET yang berisiko memberikan dampak negatif bagi negara dan masyarakat karena bertentangan dengan Pasal 33 Ayat (2) UUD 1945,” kata Bisman Bachtiar, Selasa, 6 Agustus.
Ia mengatakan bahwa Pasal tersebut menegaskan bahwa cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menyangkut hajat hidup orang banyak harus dikuasai oleh negara. Dalam pandangan Bisman, sektor ketenagalistrikan merupakan salah satu cabang produksi yang penting dan harus tetap berada di bawah kendali negara.
Ia menambahkan bahwa Mahkamah Konstitusi (MK) telah memperkuat hal ini dengan menolak klausul power wheeling dalam Undang-Undang (UU) Nomor 20/2002 karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
“UU Nomor 20 tersebut dianggap telah mereduksi makna dikuasai oleh negara untuk cabang-cabang produksi yang penting yang menguasai hajat hidup orang banyak sebagaimana dimaksud Pasal 33 Ayat 2 UUD 1945,” jelasnya.
Bisman menegaskan bahwa usaha ketenagalistrikan harus tetap dikuasai negara, mulai dari pengelolaan, pengaturan, hingga pengawasan. Selain itu, ia menyoroti pentingnya prinsip-prinsip bernegara dalam pembahasan RUU EBET. DPR dan pemerintah harus memastikan azas transparansi, keterbukaan, demokrasi, dan partisipasi publik dijalankan dengan baik.
“Proses pembentukan UU EBET harus dilakukan dengan paparan ke publik, menerima masukan, hingga pembahasan yang dibuka secara gamblang. Tidak dilakukan secara tertutup di hotel-hotel. Penyusunan RUU EBET menjadi tidak transparan,” tegasnya.
Ketidaktransparanan dalam proses penyusunan RUU EBET, menurut Bisman, membuka jalan bagi masuknya skema power wheeling yang dapat mengarah pada privatisasi, kompetisi, dan liberalisasi ketenagalistrikan. Ia menegaskan kembali bahwa power wheeling tidak bisa diterapkan dalam RUU EBET.
“Pengaturan power wheeling dalam RUU EBET merupakan pintu masuk untuk kembali ke sistem pengusahaan unbundling yang akan mengarah pada privatisasi, kompetisi, dan liberalisasi ketenagalistrikan,” kata Bisman.
Dengan demikian, Bisman mendesak pemerintah dan DPR untuk lebih berhati-hati dalam menyusun RUU EBET dan memastikan bahwa semua ketentuan yang diatur tidak bertentangan dengan konstitusi dan tetap menjaga kepentingan nasional. (Hartatik)