METI: Berat, 2025 Capai Target Bauran Energi 33% dari Kelistrikan

Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI), Surya Darma memberi paparan dalam webinar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) tentang “Bedah RUPTL: Tantangan dan Kendala dalam Pelaksanaannya untuk Mencapai Target Bauran Energi di Tahun 2025”, Rabu (23/2). (Foto: Hartatik)

JAKARTA – Ketua Umum Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) Surya Darma mengungkapkan bahwa mengejar target bauran energi baru dan terbarukan (EBT) sebesar 33%-34% dari sektor kelistrikan pada 2025 dinilai berat. Hal tersebut disampaikannya dalam webinar Masyarakat Ketenagalistrikan Indonesia (MKI) tentang bedah RUPTL: Tantangan dan Kendala dalam Pelaksanaannya untuk Mencapai Target Bauran Energi di Tahun 2025, Rabu (23/2).

“Untuk memenuhi target 23% tahun 2025 sangat besar tantangannya. Dari tenaga kelistrikan, target (bauran EBT) tahun 2025 bukan 23%, melainkan sekitar 33%-34%. Jika mengacu itu tentu sangat berat,” ujarnya. Saat ini tantangan terbesar untuk memenuhi net zero 2050 secara umum adalah menurunkan emisi 29% berasal dari kehutanan 17% dan sektor energi 11%. Dalam bauran energi, saat ini 63% lebih masih berasal dari batubara.

Menurut Surya Darma, upaya pencapaian target bauran EBT dalam Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 tidak sesuai dengan Kebijakan Energi Nasional (KEN). Merujuk pada KEN maupun Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), ia menerangkan bahwa target bauran 23% adalah untuk energi secara keseluruhan, termasuk dari Bahan Bakar Minyak (BBM), pemakaian di sektor industri, dan juga kelistrikan.

Realisasi saat ini masih jauh dari harapan

Perkembangan pembangunan pembangkit listrik dari EBT dalam lima tahun terakhir justru tidak signifikan, bahkan relatif stagnan. Meski pertumbuhan EBT didominasi oleh biofuel, namun justru memunculkan persoalan baru yakni terjadi kelangkaan minyak goreng.

Dari sisi cadangan, EBT tidak menjadi persoalan. Berdasarkan rilis reevaluasi energi dari Kementerian ESDM, potensi sumber daya EBT masih ada 3.698 GigaWatt (GW). Namun persoalannya adalah membangun pembangkit listrik EBT membutuhkan waktu yang lebih lama untuk mengintegrasikan dari hulu sampai hilir, dibanding pembangkit listrik energi fosil.

Selanjutnya, kemampuan pendanaan pemerintah terbatas sehingga perlu keterlibatan swasta. Namun pihak swasta tentu juga akan memperhitungkan bahwa investasi pada sektor EBT tersebut apakah mendapatkan pengembalian yang wajar.

“Manakala aspek ini belum terpenuhi, pihak swasta akan melihat apakah sudah tepat waktunya berinvestasi pada sektor ini. Makin lama waktu ini ditetapkan maka EBT masuk akan lebih lama,” kata Surya Darma.

Di lain pihak ada faktor lain yang menjadi kendala karena pusat kebijakan untuk eksekusi sektor energi cukup banyak. Tidak hanya ada pada Kementerian ESDM, tapi eksekusi tersebut juga ada di instansi lingkungan hidup, kehutanan, pekerjaan umum (PU), pertanian, keuangan, Bappenas, pemda, bahkan pertanahan. (Hartatik)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles