Jakarta – Sebuah koalisi yang terdiri dari kelompok-kelompok masyarakat sipil, ahli hukum, dan anggota parlemen mendesak DPR untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang telah lama tertunda, dengan alasan bahwa konflik lahan yang semakin parah dan pengabaian hak-hak masyarakat adat secara sistemik telah terjadi, meskipun telah ada keputusan Mahkamah Konstitusi yang sangat penting pada tahun 2012.
Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-X/2012 (MK 35) mengakui bahwa hutan adat adalah milik masyarakat adat, bukan milik negara. Namun, lebih dari satu dekade kemudian, pemerintah belum juga mengesahkan undang-undang nasional untuk mengimplementasikan putusan tersebut.
“Pasca putusan MK 35, nyaris tidak ada perubahan apapun di lapangan. Konflik agraria yang tetap eksis dan masyarakat tetap terancam baik oleh intimidasi maupun kriminalisasi,” ujar Siti Rakhma Mary dari Koalisi Pemantau RUU Masyarakat Adat, kepada media pada hari Senin, 26 Mei. “Sebagai salah satu anggota tim yang membuat anotasi putusan MK 35 dengan imajinasi bahwa persoalan konfl ik agraria, pengakuan dan perlindungan hutan adat sebagai bagian hak-hak Masyarakat Adat akan selesai, namun ternyata itu hanya mimpi.”
Menurut Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), setidaknya 2,8 juta hektar wilayah adat dirampas pada tahun 2024 – meningkat dari 2,5 juta hektar pada tahun sebelumnya. Sementara itu, hanya 14% dari 26,9 juta hektar wilayah adat yang terdaftar di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) yang telah diakui secara resmi.
Meskipun 342 peraturan daerah telah mengakui masyarakat adat, ketiadaan undang-undang nasional membatasi keberlakuan peraturan-peraturan tersebut. “Keberadaan Peraturan Daerah tidak cukup melindungi Masyarakat Adat beserta haknya,” kata Erasmus Cahyadi, Wakil Sekretaris Jenderal AMAN. “Undang-undang Masyarakat Adat sebagai jalan keluar dari persoalan Masyarakat Adat saat ini.”
Ia juga mengkritik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menyimpang dari mandat MK 35 dengan mengklasifikasikan hutan adat secara terpisah dari hutan hak, yang bertentangan dengan penafsiran pengadilan.
Anggota parlemen telah menyatakan kemauan politik yang baru. Martin Manurung, Wakil Ketua Badan Legislatif (Baleg) DPR, mengkonfirmasi bahwa pimpinan DPR telah memberikan lampu hijau untuk melanjutkan pembahasan. “Perlu ada pengakuan dan perlindungan terhadap Masyarakat Adat, karena Masyarakat Adat sudah ada bahkan sebelum negara ini ada. Sehingga sangat dibutuhkan segera UU MHA ini. Tidak boleh ada Masyarakat Adat yang terzolimi dan terlanggar haknya,” katanya.
Pakar hukum Yance Arizona dari Universitas Gadjah Mada mengusulkan pergeseran paradigma dalam penyusunan RUU tersebut. “dibutuhkan draf RUU yang baru yang berbeda dengan yang sudah pernah dibahas sebelumnya di DPR. Perubahan itu pertama terkait dengan penekanan pada aspek perlindungan dari pada aspek pengakuan. Ke depan perlu lebih ditekankan aspek perlindungan yang menuntut tanggung jawab pemerintah dalam melindungi segenap bangsanya, termasuk masyarakat adat,” katanya.
Ia menyarankan untuk mengalihkan pengawasan RUU tersebut dari Kementerian Dalam Negeri ke Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia dan mengadopsi model registrasi administratif-seperti halnya penerbitan KTP-untuk pengakuan masyarakat adat. Arizona juga mengusulkan penggunaan pendekatan “omnibus” untuk menyelaraskan undang-undang sektoral yang saling bertentangan.
Namun, Rakhma Mary menekankan bahwa pengakuan tetap merupakan hal yang mendasar. “Perlindungan tanpa pengakuan tidak akan bisa berjalan dengan baik dan maksimal. Harus diakui terlebih dahulu hak Masyarakat Adat atas teritorinya. Jika Masyarakat Adat menginginkannya, korporasi bisa tetap ada beroperasi, FPIC (Hak atas Persetujuan Atas Dasar Informasi di Awal Tanpa Paksaan) adalah syarat mutlak.”
Ia menekankan pentingnya restitusi dan kompensasi atas ketidakadilan di masa lalu. “Undang-Undang Masyarakat Adat yang kuat harus mencakup mekanisme pemulihan dari kerugian dan kerugian yang diderita.”
Penundaan yang terus berlanjut, menurut para advokat, memperburuk ketidakpastian hukum dan merusak hak-hak Masyarakat Adat, membuat mereka terpapar pada eksploitasi korporasi dan perusakan lingkungan. Dengan tekanan politik dan hukum yang semakin meningkat, para pemangku kepentingan bersikeras bahwa saat ini adalah waktu yang tepat untuk mengambil tindakan legislatif yang tegas. (nsh)
Foto banner: Koalisi kelompok masyarakat sipil, ahli hukum, dan anggota parlemen berbicara kepada media pada hari Senin, 26 Mei 2025. Mereka mendesak parlemen Indonesia untuk segera mengesahkan RUU Masyarakat Adat yang telah lama tertunda. (Sumber: AMAN)