Jakarta — Kelompok masyarakat sipil dan para ahli mengingatkan bahwa proyek-proyek kawasan pangan unggulan Indonesia dan program Makanan Bergizi Gratis (MBG) gagal mengatasi akar permasalahan krisis pangan di negara ini. Sebaliknya, mereka berargumen, inisiatif-inisiatif ini berisiko memperdalam ketidaksetaraan dan mengancam hak-hak petani kecil, komunitas adat, perempuan, dan kelompok rentan lainnya.
Berbicara di forum dua mingguan “Nexus Tiga Krisis Planet” pada Selasa, 30 September, Profesor Dwi Andreas Santosa dari Universitas IPB menekankan perbedaan antara ketahanan pangan dan kedaulatan pangan. “Seluruh proyek food estate melanggar empat pilar utama pembangunan pangan, mulai dari kelayakan tanah hingga aspek sosial-ekonomi. Jika dipaksakan, food estate hanya akan melahirkan krisis baru,” ujarnya, seraya menambahkan bahwa berkurangnya jumlah rumah tangga petani dan kriminalisasi petani benih menghambat generasi muda untuk terjun ke sektor pertanian.
Marthin Hadiwinata dari FIAN Indonesia menggambarkan perkebunan pangan sebagai kegagalan teknis dan pelanggaran hak asasi manusia. Ia menyoroti kelaparan yang berulang di Papua sejak 2018 dan mencatat bahwa lebih dari 17 juta warga Indonesia masih mengalami ketidakamanan pangan. Jalan keluarnya bukanlah mega proyek baru, melainkan reforma agraria yang melibatkan petani kecil dan masyarakat adat sebagai produsen pangan utama, kata Marthin.
Ketua Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan bahwa pangan merupakan hak asasi manusia yang fundamental. “Proyek-proyek food estate dan MBG sering mengabaikan prinsip-prinsip hak asasi manusia, bahkan membuka pintu bagi pelanggaran baru. … Masyarakat adat, perempuan, anak, petani kecil, dan kelompok marginal adalah pihak yang paling rentan, tetapi justru paling sering dikorbankan,” ujarnya.
Diskusi tersebut diakhiri dengan seruan kuat untuk “tanah untuk rakyat, bukan food estate,” menekankan bahwa kedaulatan pangan yang sejati hanya dapat tercapai jika negara memprioritaskan hak dan mata pencaharian warganya di atas proyek-proyek berskala besar yang hanya menguntungkan segelintir orang. (nsh)
Foto banner: (dari kanan ke kiri) Marthin Hadiwinata dari FIAN Indonesia, Ketua Komnas HAM Anis Hidayah dan Profesor Dwi Andreas Santosa dari Universitas IPB, berbicara pada forum dua mingguan “Nexus Tiga Krisis Planet”, 30 September 2025 (Sumber: Madani Berkelanjutan)