Laporan Nature: Tiga perusahaan fosil Indonesia jadi ‘biang kerok’ gelombang panas global

Jakarta – Sebuah studi internasional terbaru yang terbit di Nature Journal mengungkap tiga perusahaan energi fosil asal Indonesia—AlamTri Resources (sebelumnya bernama PT Adaro Energy Tbk), PT Bumi Resources Tbk, dan PT Pertamina (Persero)—termasuk dalam 180 carbon majors atau daftar penghasil emisi terbesar dunia yang memicu gelombang panas ekstrem.

Laporan yang dipublikasi Rabu, 10 September, tersebut mengaitkan secara langsung jejak emisi perusahaan dengan terjadinya 213 gelombang panas di berbagai belahan dunia sepanjang 2000–2023. Ironisnya, hanya dari tiga perusahaan asal Indonesia itu saja, kontribusinya cukup untuk memicu 50 peristiwa panas ekstrem.

Data studi ini menunjukkan, sejak era pra-industri (1850–1900), separuh peningkatan intensitas gelombang panas global dapat ditelusuri ke emisi perusahaan fosil besar. Bahkan, antara tahun 2000–2009, gelombang panas tercatat 20 kali lebih mungkin terjadi dibandingkan pra-industri. Angka itu melonjak drastis menjadi 200 kali lebih mungkin pada periode 2010–2019.

Secara global, hampir 500 ribu orang meninggal akibat gelombang panas pada 2000–2019. Studi atribusi iklim ini untuk pertama kalinya memberikan rantai bukti sistematis yang menghubungkan emisi perusahaan tertentu dengan bencana panas ekstrem.

“Bergantung pada perusahaannya, kontribusi mereka bisa cukup besar untuk memicu antara 16 hingga 53 gelombang panas yang sebelumnya mustahil terjadi tanpa perubahan iklim,” jelas laporan itu.

Kecaman pun datang dari jaringan advokasi iklim internasional. Juru kampanye Make Polluters Pay, Cassidy DiPaola, menyebut laporan ini sebagai bukti hukum yang tak terbantahkan.

“Kini kita bisa menunjuk peristiwa panas tertentu dan berkata: Saudi Aramco melakukan ini. ExxonMobil melakukan ini. Shell melakukan ini.,” tegas Cassidy sebagaimana dikutip Earth.org, Kamis, 11 September, dan menambahkan bahwa di Indonesia, Adaro, Bumi Resources, serta Pertamina ikut bertanggung jawab.

Ia menambahkan, dampak dari emisi ini bukan sekadar angka statistik. “Kita bicara tentang manusia nyata yang meninggal, tanaman pangan yang gagal, dan komunitas yang menderita akibat keputusan di ruang rapat korporasi,” kata Cassidy.

Studi ini juga menyoroti 14 entitas global raksasa yang emisinya setara dengan gabungan 166 perusahaan besar lainnya, termasuk ExxonMobil dan Saudi Aramco, yang bersama-sama menyumbang sekitar 30 persen emisi kumulatif CO₂ antropogenik sejak 1850.

Temuan ini muncul hanya beberapa pekan setelah Mahkamah Internasional menyatakan bahwa produksi bahan bakar fosil dapat dikategorikan sebagai tindakan melanggar hukum internasional. Dengan begitu, para korban bencana iklim kini memiliki dasar hukum untuk menuntut reparasi.

“Tagihannya sudah jatuh tempo. Saatnya para pencemar ini membayar atas kerusakan yang mereka timbulkan,” pungkas Cassidy. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2025)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles