Laporan KRKP: Krisis iklim dan panas ekstrem akibatkan petani meninggal dunia

Jakarta – Gelombang panas ekstrem yang melanda sejumlah daerah di Indonesia kini tak hanya berdampak pada produktivitas pertanian, tetapi juga mengancam nyawa petani, menurut Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP). Dalam laporan terakhirnya, KRKP mencatat bahwa sejumlah petani dilaporkan meninggal dunia akibat sengatan panas saat bekerja di sawah.

“Sepanjang 2023, ada lebih dari enam petani yang meninggal di sawah atau sepulang dari sawah karena tidak kuat menghadapi suhu ekstrem. Sebagian besar kasus kami temukan di Klaten,” ungkap Koordinator KRKP, Ayip Said Abdullah, dalam diskusi Polemik Harga Beras dan Kebijakan Pangan di Tengah Krisis Iklim, Selasa, 16 September.

Menurut Ayip, korban yang meninggal tidak hanya berasal dari kelompok usia lanjut. Beberapa bahkan masih berusia 30-an tahun. “Itu masih muda-muda. Memang mungkin ada penyakit bawaan, tapi stroke yang dialami dipicu kenaikan suhu yang luar biasa. Krisis iklim ini nyata mengancam keselamatan petani,” tegasnya.

Untuk bertahan dari suhu panas yang semakin menyengat, petani kini mengubah pola kerja. Mereka berangkat ke sawah lebih pagi, antara pukul 05.00–06.00, dan pulang sebelum matahari semakin terik sekitar pukul 10.00. Ada pula yang menggunakan cara ekstrem.

“Ada petani yang selalu pakai jaket ke sawah, lalu membawa es batu seberat satu kilogram di dalam plastik dan ditempelkan ke punggungnya. Itu dilakukan supaya bisa terus bekerja, karena panasnya sudah tidak tertahankan,” kata Ayip memberi gambaran.

KRKP menilai pemerintah masih abai terhadap dampak kesehatan akibat perubahan iklim. “Enggak peduli sama sekali. Bahkan data soal petani sakit atau meninggal karena iklim itu tidak ada. Padahal ini realitas yang harus dihadapi dan direspons dengan serius,” kritik Ayip.

Peringatan serupa juga disampaikan Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira Adhinegara. Ia menegaskan, kasus petani meninggal karena panas ekstrem bukan sekadar kabar angin.

“Mungkin ada komorbid, tapi cuaca ekstrem jelas memperbesar risiko heat stroke. Ini beda dengan orang yang kerja di ruangan ber-AC. Paparan panas di lapangan nyata mengancam,” katanya.

Selain menimbulkan risiko kesehatan, krisis iklim juga memperbesar kerugian ekonomi. Data Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menunjukkan, sepanjang 2020–2024 sektor pertanian mengalami kerugian hingga Rp78 triliun akibat dampak perubahan iklim, termasuk banjir rob yang kerap melanda kawasan Pantai Utara Jawa.

Bhima menambahkan, jika tren krisis iklim terus berlanjut, ketahanan pangan Indonesia akan semakin terancam.

“Merujuk laporan World Food Programme (WFP), pada 2050 produksi tanaman pangan terutama padi bisa turun 20 persen. Implikasinya jelas: impor pangan akan semakin besar,” ujarnya.

KRKP menegaskan bahwa laporan ini menjadi alarm keras bagi pemerintah untuk segera menyusun kebijakan perlindungan petani dari ancaman iklim ekstrem. Tanpa langkah nyata, bukan hanya ketahanan pangan yang terancam, tetapi juga keselamatan hidup petani sebagai garda terdepan penyedia pangan nasional. (Hartatik)

Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2025)

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles