Jakarta — Saat Indonesia bersiap untuk Konferensi Iklim PBB (COP 30) yang akan datang di Brasil, organisasi lingkungan Pantau Gambut dan Madani Berkelanjutan memperingatkan pada Selasa, 21 Oktober, bahwa kemajuan negara ini dalam memenuhi komitmen iklimnya masih terhambat oleh koordinasi yang lemah dan fragmentasi institusional.
Sembilan tahun setelah mengumumkan Kontribusi Nasional yang Ditentukan (NDC), Indonesia terus menghadapi bencana ekologi berulang, terutama kebakaran hutan dan lahan gambut. Antara Januari dan September 2025, Kalimantan Barat mencatat luas area terbakar terbesar, 123.076 hektar, dengan 78.267 hektar terletak di zona yang ditetapkan untuk program FOLU Net Sink pemerintah, yang bertujuan menjadikan sektor kehutanan netral karbon.
Pantau Gambut menemukan bahwa ekosistem gambut juga mengalami kerusakan parah, dengan 26.761 hektar lahan gambut terbakar tercatat pada bulan Juli dan Agustus, terutama di Riau dan Kalimantan Barat. Yang mengkhawatirkan, 56 persen kebakaran terjadi di lahan konsesi kelapa sawit dan kehutanan yang berizin.
“Fragmentasi kelembagaan menjadi sumber masalah yang masih berlarut,” kata Putra Saptian, Aktivis di Pantau Gambut. “Padahal, sebuah ekosistem seperti gambut merupakan sebuah kesatuan yang tidak bisa dipilah secara administratif maupun sektoral.” Ia menyoroti pemisahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan sebagai sumber ketidak efisienan birokrasi dan koordinasi yang buruk.
Giorgio Budi Indrarto, Wakil Direktur Madani Berkelanjutan, menambahkan bahwa pembubaran Badan Restorasi Gambut dan Mangrove (BRGM) mencerminkan pendekatan jangka pendek yang didorong oleh krisis dalam tata kelola. “Pembubaran BRGM menguatkan pola berulang dalam tata kelola lingkungan hidup di Indonesia, yaitu membentuk lembaga saat krisis dan diikuti pembubaran ketika tekanan mereda,” katanya.
Peneliti Madani, Sadam Afian Richwanudin, memperingatkan bahwa tanpa tindakan terkoordinasi untuk menekan deforestasi dan degradasi lahan gambut, Indonesia berisiko gagal mencapai target pengurangan emisi sebesar 31,89 persen (tanpa syarat) dan 43,20 persen (dengan dukungan internasional). “Jika pembukaan lahan skala besar masih terus dilakukan dan penanganan karhutla masih belum optimal, ajang COP 30 Brazil pun bisa hanya menjadi pepesan kosong belaka,” katanya. (nsh)
Foto banner: Iwan Kurniawan/UNDP Indonesia


