Jakarta – Potensi besar teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (Carbon Capture and Storage/CCS) di Indonesia dinilai para praktisi belum dapat berjalan optimal tanpa kepastian hukum mengenai penyimpanan karbon lintas batas negara. Hal ini mengemuka dalam diskusi panel Plenary Session: CCS for Upstream Decarbonization and Beyond yang digelar dalam ajang The 49th IPA Convention & Exhibition, Rabu, 21 Mei.
Daniel Fletcher, Head of CCUS Business Development bp, menyampaikan bahwa Indonesia memiliki potensi geologis yang sangat mendukung untuk pengembangan CCS. Namun, menurutnya, keberhasilan proyek CCS tidak hanya ditentukan oleh ketersediaan reservoir atau infrastruktur teknis, tapi juga oleh landasan hukum dan regulasi yang jelas.
“Kami lihat Indonesia punya kemajuan positif dalam hal regulasi. Tapi untuk mengimplementasikan penyimpanan karbon lintas negara, regulasi tambahan sangat dibutuhkan,” ujar Daniel.
Ia menambahkan, kepastian hukum tersebut akan menjadi pemicu penting masuknya investasi swasta dan dukungan lembaga finansial global terhadap proyek-proyek CCS di Indonesia.
“Jika regulasi tentang penyimpanan lintas batas diterbitkan, maka ekosistem bisnis CCS akan tumbuh secara alami, dan sektor keuangan akan mulai memberikan dukungan,” tegasnya.
Proyek CCS mulai jalan, tapi insentif masih kurang
Sementara itu, Ariana Soemanto, Direktur Pembinaan Program Usaha Hulu Migas Kementerian ESDM, mengakui bahwa investasi besar di sektor hulu migas ke depan tidak bisa lepas dari penerapan CCS. Menurutnya, upaya dekarbonisasi global membuat teknologi ini menjadi prasyarat bagi keberlanjutan bisnis migas.
“Selama ini migas memberi multiplier effect besar bagi perekonomian. Tapi ke depan, kita harus siap masuk ke era CCS yang butuh investasi tak kalah besar,” kata Ariana.
Ia menyebutkan sejumlah proyek CCS yang sudah atau tengah berjalan, antara lain proyek CCS di Lapangan Sukowati (Pertamina), proyek Sunda Asri (Pertamina-ExxonMobil), Blok Masela (Inpex Masela Ltd.), Blok Sakakemang (Repsol), Blok Tangguh (bp), yang bahkan sudah mencapai Final Investment Decision (FID) dengan nilai tambahan investasi USD 7 miliar
Tak hanya itu, lanjut Ariana, ada tiga proyek CCS mandiri yang telah diajukan oleh pelaku industri ke Kementerian ESDM dan sedang menanti persetujuan.
“Ada tiga proyek stand-alone yang sudah diusulkan ke kami. Kami masih menunggu arahan dari Pak Menteri,” ungkapnya.
Regulasi ada, tapi masih terbatas
Saat ini, Indonesia sudah memiliki dasar hukum melalui Permen ESDM No. 2 Tahun 2023 yang mengatur pelaksanaan CCS dan CCUS di sektor hulu migas. Regulasi ini mencakup proses penangkapan, pengangkutan, serta penyimpanan karbon secara aman dan permanen.
Namun, regulasi tersebut belum menyentuh isu cross-border storage—penyimpanan karbon dari negara lain di wilayah Indonesia, yang justru dapat membuka peluang bisnis lebih besar dan memperkuat peran Indonesia sebagai hub CCS di kawasan.
CCS bukan sekadar alat mitigasi perubahan iklim, tetapi juga dianggap sebagai peluang ekonomi baru bagi Indonesia. Potensi penyimpanan karbon di reservoir minyak dan gas yang sudah tidak produktif dapat dimanfaatkan untuk menyerap emisi karbon dari negara lain, dengan imbalan investasi dan insentif ekonomi.
“Kami ingin CCS menjadi solusi nyata dekarbonisasi. Tapi insentif pemerintah dan kejelasan hukum adalah pemicunya,” ujar Daniel Fletcher. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat menggunakan OpenAI DALL·E via ChatGPT (2024)