Jakarta – Indonesia, yang dikenal kaya akan sumber daya alam dan pertumbuhan ekonominya yang pesat, kini menghadapi titik krusial dalam sektor energinya, menurut sebuah laporan yang dipublikasikan oleh Dala Institute.
Terlepas dari berbagai inisiatif dalam investasi pembangunan rendah karbon dan penerbitan peraturan untuk mempercepat jalan menuju emisi nol nol, Indonesia menghadapi rintangan yang signifikan dalam perjalanan transisi energinya. Pertumbuhan populasi dan pembangunan ekonomi yang pesat telah menyebabkan lonjakan permintaan listrik, meskipun melambat selama pandemi COVID-19. Untuk memenuhi permintaan yang terus meningkat ini, konsumsi energi diproyeksikan akan tumbuh sebesar 80% pada tahun 2030, dengan peningkatan permintaan listrik sebesar tiga kali lipat pada periode yang sama.
Energi terbarukan, meskipun memberikan peluang bagi pertumbuhan ekonomi dan penciptaan lapangan kerja, tidak dapat sepenuhnya menggantikan bahan bakar fosil dalam bauran energi karena kendala teknis, ekonomi, dan politik. Tantangan-tantangan yang dihadapi antara lain adalah kebijakan yang tidak dapat diprediksi, kurangnya koordinasi antar kementerian, dan dominasi surplus energi yang digerakkan oleh batu bara.
Aidy Halimanjaya, Direktur dan Pendiri Dala Institute, menyoroti berbagai kendala prinsipal-agen yang dihadapi oleh Indonesia, khususnya dalam pengelolaan Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kompleksitas ini mempengaruhi negosiasi dan persyaratan kepatuhan, sehingga menghambat pengembangan proyek-proyek energi terbarukan.
Untuk menjawab tantangan-tantangan tersebut, Dala Institute melakukan studi Nexus Assessment untuk mengeksplorasi pengintegrasian aspek ekonomi, lingkungan, dan sosial ke dalam proses perumusan kebijakan transisi energi. Studi ini mengidentifikasi perlunya konsistensi yang lebih besar dalam strategi transisi energi di tingkat nasional, operator, dan implementasi proyek, dengan menekankan pentingnya keberlanjutan lingkungan dan inklusi sosial.
Studi ini merekomendasikan beberapa langkah untuk memajukan proses transisi energi di Indonesia. Di tingkat kebijakan nasional, pemerintah harus merancang rencana yang kohesif untuk mengintegrasikan tujuan-tujuan Nexus ke dalam rencana pengembangan sistem energi dan mengganti peraturan-peraturan yang saling bertentangan. Membangun kapasitas kelembagaan sangat penting untuk mengidentifikasi masalah-masalah sistemik dan mempengaruhi reformasi kebijakan.
Di tingkat operator, perusahaan listrik seperti PLN harus berkolaborasi dengan masyarakat lokal dan mendorong keterlibatan masyarakat dalam praktik energi berkelanjutan. Memperkuat kemitraan dengan organisasi dan asosiasi lokal dapat memfasilitasi pengembangan energi terbarukan di daerah yang kurang terlayani.
Untuk menilai kemajuan dan dampak proyek energi terbarukan, pemantauan dan evaluasi yang kuat harus dilakukan, dengan memprioritaskan mitigasi risiko lingkungan dan sosial serta mengadopsi perlindungan investor atau pemberi pinjaman. (nsh)