Jakarta – Hasil survei Indonesia Cerah dan MarkData menunjukkan bahwa subsidi kendaraan listrik (electric vehicles/EV) menjadi program kebijakan transisi energi berkeadilan yang paling populer, namun, program ini dinilai masih kurang efektif dalam mengurangi emisi dan membuka lapangan kerja.
Berdasarkan hasil survei pemangku kepentingan tentang kebijakan transisi energi berkeadilan di Indonesia tersebut, 91,1 persen responden menilai subsidi kendaraan listrik menjadi program kebijakan transisi energi berkeadilan yang paling populer. Sementara itu, pemasangan PLTS hanya diketahui oleh 67,5 persen responden.
Survei ini dilakukan oleh Indonesia Cerah dan MarkData pada periode 10-20 Desember 2023 di tiga wilayah, yaitu Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat, yang memiliki ketergantungan besar terhadap energi fosil, khususnya batu bara.
Metodologi survei menggunakan purposive sampling, melibatkan responden dengan kriteria tertentu seperti Aparatur Sipil Negara (ASN), pengusaha dan pegawai swasta, serta pekerja dan masyarakat sipil lainnya. Sebanyak 123 responden terlibat dalam wawancara luring dan daring.
Project Assistant Indonesia Cerah, Intan Fatma Dewi mengatakan bahwa subsidi kendaraan listrik dinilai oleh responden di Sumatera Selatan sebagai program yang paling efektif dalam transisi energi berkeadilan lantaran menghemat biaya. Sementara itu upaya mengurangi polusi udara (39,5 persen) adalah alasan paling efektif yang banyak disebut oleh responden di Jawa Barat.
Namun, Intan mengatakan bahwa subsidi kendaraan listrik masih dinilai kurang efektif dalam mengurangi emisi. Hal ini karena jumlah kendaraan listrik yang beredar masih relatif kecil. Selain itu, harga kendaraan listrik masih relatif mahal, sehingga tidak terjangkau oleh semua kalangan.
“Subsidi kendaraan listrik masih belum cukup efektif untuk mendorong transisi energi berkeadilan. Pemerintah perlu mengkaji ulang program ini agar lebih efektif dalam mengurangi emisi dan membuka lapangan kerja,” kata Intan pada ‘Peluncuran Laporan Survei dan Diskusi: Persepsi Pemangku Kepentingan tentang Kebijakan Transisi Energi Berkeadilan di Kalimantan Timur, Sumatera Selatan, dan Jawa Barat’ secara virtual.
Intan juga mengatakan, sebanyak 91,9 persen responden tertarik untuk berpartisipasi dalam mendukung pelaksanaan transisi energi berkeadilan. Lalu sebanyak 59,3 persen responden menilai program transisi energi dapat mengubah presepsi masyarakat terhadap pemerintah.
Sementara itu, CEO MarkData, Faisal Arief Kamil, menyampaikan, mayoritas responden, sebanyak 87,0%, mendukung pelaksanaan transisi energi berkeadilan. Alasannya, mayoritas dari pemangku kepentingan telah memahami pentingnya mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan dan perubahan iklim (72,0%), serta melihat adanya potensi manfaat ekonomi seperti penciptaan lapangan kerja baru (50,5%).”
Namun, ada juga sebagian kecil pemangku kepentingan yang cenderung tidak mendukung transisi energi berkeadilan. Menurut Faisal, sebesar 13% dari responden memiliki alasan beragam.
Beberapa alasannya, termasuk persepsi bahwa manfaat transisi energi tidak didistribusikan secara merata (71,4%), potensi hilangnya pekerjaan di sektor energi minyak bumi, gas, dan batu bara (57,1%), adanya masalah atau tantangan lain yang dianggap lebih mendesak (55,6%), dan rasa tidak percaya pada komitmen pemerintah dan sektor swasta (42,9%).
Ketika ditanya tentang pendapat terkait pelaksanaan transisi energi berkeadilan di Indonesia, responden dari Kalimantan Timur menunjukkan tingkat kekhawatiran lebih tinggi (25%) dibandingkan dengan Jawa Barat (9,3%) dan Sumatera Selatan (5%).
“Ini menandakan bahwa ada tingkat kekhawatiran yang berbeda di berbagai provinsi terkait pelaksanaan transisi energi berkeadilan,” ungkap Faisal.
Hasil survei ini memberikan gambaran yang menarik tentang pandangan dan dukungan pemangku kepentingan terhadap transisi energi berkeadilan di Indonesia, namun juga menyoroti tantangan dan kekhawatiran yang perlu diatasi untuk mencapai tujuan ini dengan sukses. (Hartatik)