Jakarta — Para ilmuwan dan pembuat kebijakan menyatakan bahwa negara ini memerlukan sistem tata kelola yang jelas dan kerangka regulasi yang kuat untuk melindungi hutan mangrove Indonesia dan mempertahankan ekonomi karbon birunya.
Workshop bertajuk “Sains di Medan Merdeka: Nilai Ekonomi Karbon Biru dan Kepemimpinan Indonesia”, yang diselenggarakan oleh Akademi Ilmu Pengetahuan Indonesia (AIPI), digelar di Jakarta pada Selasa, 14 Oktober, mengumpulkan para ilmuwan dan pembuat kebijakan untuk membahas bagaimana Indonesia dapat mengoptimalkan potensi ekonomi cadangan karbon birunya sambil memastikan keadilan sosial dan integritas ekologi.
Indonesia, yang memiliki hutan mangrove terbesar di dunia dan ekosistem pesisir yang luas, berupaya untuk menjadi pemimpin global di pasar karbon biru. Mekanisme baru ini menghargai karbon yang ditangkap dan disimpan oleh ekosistem laut dan pesisir seperti hutan mangrove dan rumput laut.
Menilai karbon Indonesia secara tepat
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengatakan Indonesia berpotensi memperoleh pendapatan hingga USD 565,9 miliar (sekitar IDR 8.000 triliun) dari perdagangan karbon di hutan, mangrove, dan lahan gambut jika dapat menjual kredit karbon seharga USD 5 per ton CO₂e, seperti yang dikutip oleh AIPI dalam pernyataan tertulis. Namun, mereka mengatakan harga karbon di negara ini masih termasuk yang terendah di dunia—sekitar USD 1 per ton CO₂e, dibandingkan dengan Uruguay yang USD 167 atau Jepang yang USD 400 untuk kredit karbon berbasis rumput laut.
“Harga 5 dolar AS per ton karbon itu sangat murah,” kata Prof. Daniel Murdiyarso, Ilmuwan Utama di CIFOR-ICRAF dan Ketua AIPI, kepada hadirin dalam acara tersebut. “Indonesia perlu menciptakan tata kelola yang baik dan transparan serta memastikan proyek karbon yang berkualitas dari sisi teknis dan sains … merestorasi hutan mangrove yang sudah rusak lebih sulit dan lebih mahal ketimbang upaya melindungi dari deforestasi dan degradasi”.
Murdiyarso mengatakan bahwa meningkatkan kepercayaan pasar dan kapasitas pemangku kepentingan, terutama di kalangan komunitas pesisir, sangat penting untuk memastikan proyek karbon berkualitas tinggi dan secara ilmiah dapat dipertanggungjawabkan. Ia menambahkan bahwa Indonesia harus memperkuat sistem pemantauan, pelaporan, dan verifikasi (MRV) yang selaras dengan standar internasional serta memastikan kerangka hukum yang konsisten untuk mempertahankan ekonomi karbon birunya.
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Hanif Faisol Nurofiq menyambut seruan tersebut, dengan mencatat bahwa Indonesia telah mengambil langkah-langkah besar untuk meningkatkan daya saingnya dalam perdagangan karbon. Langkah-langkah tersebut meliputi penandatanganan Perjanjian Pengakuan Mutual (MRA) antara Sertifikasi Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPEI) Indonesia dan Standar Karbon Terverifikasi (VCS) Verra, surat niat dengan Puro.earth, serta panduan bagi pengembang proyek yang mengejar sertifikasi Gold Standard for Global Goals (GS4GG).
Langkah-langkah ini dibangun atas keberhasilan Indonesia sebelumnya dalam program REDD+, yang berhasil memperoleh pembayaran berbasis hasil dari Green Climate Fund (USD 103,8 juta), Forest Carbon Partnership Facility (USD 180 juta), dan kontribusi berbasis hasil dari Norwegia (USD 216 juta). Indonesia juga telah memasukkan karbon mangrove di bawah tanah ke dalam Tingkat Acuan Hutan Nasionalnya untuk mengakses pembayaran di masa depan.
Menteri Hanif menekankan pentingnya mengubah keunggulan komparatif menjadi keunggulan kompetitif, dengan mengatakan, “Masa depan perdagangan karbon di Indonesia akan ditentukan oleh kredibilitas dan integritas pasar karbon yang kita bangun dengan kredit karbon berintegritas dari masing-masing sektor. Kami ingatkan kepada kita semua bahwa menjaga integritas karbon adalah hal yang sangat penting; tidak boleh satupun diantara kita menimbulkan fraud yang akan merusak integritas karbon Indonesia,”
Menjelang Konferensi Perubahan Iklim PBB (COP30) di Brasil bulan depan — yang menjadi rumah bagi kawasan mangrove terbesar kedua di dunia — baik Hanif maupun Murdiyarso mengungkapkan optimisme bahwa konservasi mangrove dan karbon biru akan menjadi fokus utama. Mereka mengatakan Indonesia siap untuk memamerkan kemajuan yang telah dicapai dan mendesak pembentukan pasar karbon biru global yang adil dan kredibel.
Dalam kesimpulannya, Murdiyarso mengatakan bahwa karbon biru tidak hanya soal pengurangan emisi, tapi juga tentang ketahanan — memastikan bahwa komunitas pesisir dapat berkembang sejalan dengan ekosistem yang sehat. “Indonesia perlu menciptakan tata kelola yang baik dan transparan serta memastikan proyek karbon yang berkualitas dari sisi teknis dan sains,” katanya (nsh)
Foto banner: Prof. Daniel Murdiyarso, Ilmuwan Utama CIFOR-ICRAF dan Ketua AIPI Chair (Sumber: Tangkapan layar kanal YouTube AIPI Indonesia)


