Illegal fishing terus terjadi, apa masalahnya?

oleh Fadiyah Alaidrus

Aktivitas kapal-kapal asing di sekitar perairan Indonesia masih terus bermunculan. Mereka tak hanya beraktivitas di sana secara ilegal, melainkan juga melakukan pencurian ikan, atau yang disebut dengan illegal, unreported, unregulated fishing (IUUF). Permasalahan IUUF ini tentunya tak berdiri sendiri, melainkan juga memiliki keterkaitan atas banyak permasalahan lain, mulai dari perbudakan, perdagangan manusia, suap, penyelundupan hewan, narkoba, dan sebagainya.

Hingga 20  Agustus 2021, Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah menangkap 130 kapal, terdiri dari 84 kapal ikan Indonesia yang melanggar ketentuan dan 46 kapal ikan asing yang mencuri ikan (15 kapal berbendera Malaysia, 6 kapal berbendera Filipina dan 25 kapal berbendera Vietnam).

Hingga Agustus 2021 ini KKP melalui kapal patroli pengawas kami telah menangkap 130 kapal terdiri dari 84 kapal ikan Indonesia yang melanggar ketentuan dan 46 kapal ikan asing yang mencuri ikan, terdiri dari 15 kapal berbendera Malaysia, 6 kapal berbendera Filipina dan 25 kapal berbendera Vietnam. Selain gigih memberantas illegal fishing, KKP juga terus menunjukkan komitmennya untuk menjaga keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan dengan menangkap 62 pelaku destructive fishing seperti bom ikan, setrum maupun racun.

Laporan tahunan KKP menyebutkan setidaknya terdapat dua faktor penyebab IUUF. Pertama, IUUF terjadi karena sejumlah negara mengalami penurunan stok ikan, sementara permintaan terus meningkat. Kedua, pengawasan sumber daya kelautan dan perikanan di Indonesia yang belum memadai.

Sekretaris Jenderal Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) Susan Herawati menilai bahwa terjadi kemunduran dalam permasalahan IUUF di Indonesia, setidaknya untuk satu tahun terakhir. Salah satu faktor kemundurannya, jelas Susan, adalah pengesahan dari Undang-Undang (UU) Cipta Kerja pada tahun 2020.

“Dalam UU Cipta Kerja, kita bisa melihat, bagaimana negara ini memperbolehkan kapal-kapal asing ini untuk masuk. Sebenarnya ini kan sebagai penanda, kalau kita bisa jujur bahwa negara ini  ke depan akan terus memfasilitasi illegal fishing,” ungkap Susan saat dihubungi pada Jumat (20/8/2021).

Susan menjelaskan bahwa kebijakan dalam UU Cipta Kerja rentan untuk meningkatkan masalah IUUF, salah satunya adalah poin mengenai kapal-kapal asing yang diperbolehkan untuk melakukan alih muatan di tengah laut. Tanpa ada kejelasan siapa yang melakukan pengawasan, alih muatan ini menjadi rentan karena tak ada yang memastikan bahwa ikan-ikan tersebut bukanlah hasil IUUF.

Kurang Kuatnya Sanksi

Susah juga menjelaskan bahwa, apabila dibandingkan dengan kebijakan sebelumnya, yakni yang diatur dalam UU No. 31 Tahun 2004 tentang Perikanan, maka sanksi yang ada dalam UU Cipta Kerja terhitung lebih lemah. Dalam UU sebelumnya, terdapat penjelasan dalam Pasal 93 bahwa sanksi yang diberikan pada kapal berbendera asing yang melakukan pelanggaran dalam melaut atau menangkap ikan adalah sanksi pidana dan sanksi denda. Sementara, dalam UU Cipta Kerja, sanksi hanya bersifat administratif.

“Maka para pelaku tersebut dapat dengan mudah untuk kembali ke dalam industri perikanan dengan nama yang berbeda. Namun praktik produksi yang eksploitatif terhadap sumber daya laut, juga pada pekerjanya, akan terus berlangsung,” ungkap Susan.

Kemudian, menurut Susan, sejumlah publikasi mengenai penangkapan bukanlah yang efektif untuk menuntaskan masalah IUUF. Seharusnya, perlu ada sanksi yang lebih tegas kepada para pelaku atau pemilik modal dari kapal-kapal yang melakukan aktivitas IUUF, bukan hanya pada nahkodanya saja. Dengan itu, menurut Susah, salah satu langkah yang perlu dilakukan untuk memperbaiki masalah IUUF adalah pencabutan UU Cipta Kerja, khususnya pasal-pasal tersebut. 

“Kalau masih memperbolehkan kapal asing, apalagi diberi izin nanti dari pusat, ya kita jadi kayak di dalam putaran yang begitu-begitu aja. Harusnya UU Cipta Kerja dicabut, kemudian kapal asing tetap diperbolehkan masuk, tidak boleh ada alih muatan di tengah laut, semuanya harus dikontrol pengawasannya,” tegasnya. 

Sementara, menurut Juru Kampanye Kelautan Greenpeace Arifsyah, terdapat setidaknya tiga masalah utama yang menyebabkan illegal fishing terus terjadi. Pertama, lemahnya integritas penegakan hukum dan kapasitas pengawasan, baik secara sistem koordinasi nasional, hingga kendala operasional di lapangan. 

Kedua, keterbukaan informasi sistem pemantauan kapal dan ketelusuran produk perikanan yang masih belum dapat diakses secara terbuka oleh publik, sebagaimana yang diharapkan dalam Fisheries Transparency. Terakhir, pemblokiran hasil produk ikan hasil IUUF ke pasar domestik, maupun ekspor, atau market ban.

Market ban yang dimaksud memang perlu dilakukan oleh negara penerima, atau importir, untuk hasil tangkapan dari perusahaan dan kapal-kapal yang diduga melakukan kegiatan IUU dari negara-negara lain” jelas Arifsyah saat dihubungi pada Jumat (20/8/2021)

Respon Pemerintah

Juru Bicara KKP Wahyu Muryadi menilai bahwa sejuah ini, pemerintah sudah tegas dalam menekan angka IUUF, salah satunya melalui sejumlah penangkapan yang telah dilakukan. 

“Selain gigih memberantas illegal fishing, KKP juga terus menunjukkan komitmennya untuk menjaga keberlanjutan sumber daya kelautan dan perikanan dengan menangkap 62 pelaku destructive fishing, seperti bom ikan, setrum maupun racun,” jelas Wahyu saat dihubungi pada Jumat (20/8/2021).

Terkait dengan alih muatan di tengah laut, Wahyu menyampaikan bahwa selama pandemi memang hal tersebut diperbolehkan. Namun, dalam prosesnya tetap perlu dilengkapi dengan berita acara alih muatan, serta sistem pemantauan kapal perikanan atau vessel monitoring system (VMS) harus dalam keadaan menyala terus, sehingga tetap bisa dilakukan pelacakan.
“Dan harus dibawa ke pelabuhan di dalam negeri. Bukan transhipment yang kemudian membawa ikan-ikan itu ke luar negeri. Sama sekali tidak. Lalu kapal angkutnya harus tercantum dalam SIPI [izin tertulis yang harus dimiliki setiap kapal perikanan] kapal penangkapnya,” jelasnya.

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles