Jakarta – Transformasi menuju kendaraan listrik (EV) kian dipandang sebagai kunci emas bagi Indonesia dalam mewujudkan ekonomi hijau. Tak hanya berpotensi menekan emisi karbon, elektrifikasi transportasi juga diyakini mampu membuka ratusan ribu lapangan kerja baru dan meringankan beban subsidi energi nasional.
Isu tersebut mengemuka dalam sesi tematik “Memaksimalkan Manfaat Ekonomi dan Sosial dari Transisi Kendaraan Listrik” pada ajang Indonesia International Sustainability Forum (IISF) 2025, Sabtu, 11 Oktober. Forum ini menyoroti bahwa transisi kendaraan listrik bukan sekadar urusan teknologi, melainkan juga strategi ekonomi, sosial, dan fiskal yang saling terhubung.
“Elektrifikasi transportasi adalah jalan menuju sistem energi yang efisien, mandiri, dan rendah emisi. Dampaknya bukan hanya pada pengurangan polusi, tetapi juga pada efisiensi fiskal melalui penghematan subsidi BBM dan penciptaan green jobs,” ujar Ahmad Faisal Suralaga, Direktur Strategi dan Tata Kelola Hilirisasi Kementerian Investasi/BKPM.
Dorong reformasi fiskal dan efisiensi energi
Menurut Faisal, hilirisasi di sektor kendaraan listrik kini tidak hanya dimaknai sebagai peningkatan nilai ekspor, tetapi juga sebagai pembentuk ekosistem industri yang berkelanjutan. Hingga kini, lebih dari 10 ribu tenaga kerja telah terserap dari proyek hilirisasi yang berjalan.
Sementara itu, Kepala Pusat Industri, Perdagangan, dan Investasi INDEF, Andry Satrio Nugroho, menilai kebijakan fiskal berperan penting dalam mempercepat adopsi kendaraan listrik. Salah satu instrumen yang dinilai efektif adalah penerapan cukai emisi, yang mampu menutup potensi kehilangan penerimaan negara akibat insentif EV hingga 111 persen.
“Dengan skema cukai emisi, kendaraan tinggi polusi dikenai disinsentif, sementara kendaraan rendah emisi tidak terbebani. Ini bukan hanya adil, tetapi juga efisien secara fiskal,” ujar Andry.
Analisis INDEF mencatat, beban subsidi dan kompensasi energi untuk kendaraan berbahan bakar fosil mencapai Rp308 triliun per tahun, jauh lebih besar dari potensi kehilangan pendapatan negara akibat insentif kendaraan listrik yang hanya sekitar Rp14,7 triliun.
Deputi Koordinator Sekretariat Satgas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional, Dimas Muhamad, menegaskan bahwa keberhasilan transisi EV harus bertumpu pada inovasi manusia, bukan semata sumber daya alam.
Pandangan serupa disampaikan Direktur Asia Tenggara Institute for Transportation and Development Policy (ITDP), Gonggomtua Sitanggang, yang menekankan manfaat ekonomi dari elektrifikasi transportasi publik.
Menurutnya, penggunaan bus listrik dapat menghemat biaya operasional hingga 30 persen, menurunkan biaya mobilitas warga, serta memperluas jangkauan layanan transportasi. “Studi ITDP menunjukkan rasio manfaat-biaya (BCR) elektrifikasi transportasi publik di Jakarta bisa mencapai 2,4. Artinya, setiap Rp1 yang diinvestasikan menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial Rp2,4,” ungkap Gonggomtua.
Dari sisi industri, R Hanggoro Ananta dari Asosiasi Industri Sepeda Motor Listrik Indonesia (AISMOLI) menegaskan bahwa transisi EV akan membuka peluang kerja besar di sektor manufaktur, konversi, dan riset teknologi. Saat ini AISMOLI menaungi 57 perusahaan anggota yang aktif di berbagai lini industri kendaraan listrik. Dengan meningkatnya adopsi EV nasional, sektor ini diproyeksikan mampu menciptakan lebih dari 150 ribu lapangan kerja baru hingga 2030.
“Transisi kendaraan listrik bukan hanya agenda lingkungan, tapi juga ekonomi kemandirian bangsa. Ini peluang untuk melahirkan ribuan teknisi dan tenaga kerja hijau yang siap menghadapi era industri berkelanjutan,” ujar Hanggoro. (Hartatik)
Foto banner: Mike Bird/pexels.com


