IESR: Revisi Perpres 112/2022 jadi siasat panjangkan umur PLTU batu bara

Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan usulan pemerintah merevisi Peraturan Presiden (Perpres) 112/2022 sebagai langkah mundur yang justru dapat memperpanjang operasi pembangkit fosil di Indonesia. Menurut IESR, di tengah komitmen transisi energi, usulan perubahan yang membuka celah pembangunan PLTU batu bara baru.

CEO IESR, Fabby Tumiwa, Jumat, 14 November, rancangan revisi itu berpotensi memperkuat ketergantungan Indonesia pada energi batu bara dan memicu biaya listrik yang lebih tinggi.

“Keandalan sistem tidak harus dengan membangun PLTU baru. Transmisi yang terhubung lebih luas, plus pengembangan panas bumi, hidro, surya, angin, dan penyimpanan energi dapat menggantikannya,” ujar Fabby. Ia menekankan bahwa arah kebijakan ini justru melawan arahan Presiden Prabowo yang menargetkan penggunaan 100% energi terbarukan dalam 10 tahun ke depan.

Fabby menyebut revisi Perpres seharusnya memperkuat komitmen penghentian PLTU di 2050, bukan sebaliknya.

Dalam rancangan revisi tersebut, pemerintah mempertimbangkan pelonggaran aturan pembangunan PLTU baru demi alasan keandalan listrik. Bukan hanya itu, skema pembangkit listrik tenaga hibrida (PLT hibrida) yang menggabungkan energi fosil dan energi terbarukan juga mulai dimasukkan sebagai opsi resmi.

IESR mengingatkan pemerintah bahwa PLTU bukan jawaban tunggal bagi keandalan listrik. Gangguan di PLTU Timor pada November 2025 menjadi bukti bahwa pembangkit baru pun tidak selalu bebas masalah.

Perpanjang umur PLTU energi fosil dan risiko aset mangkrak

IESR menegaskan bahwa investasi PLTU hari ini berpotensi menjadi stranded asset atau mangkrak dalam beberapa tahun mendatang seiring percepatan transisi energi global. Menurut IESR, konsep tersebut justru mengunci Indonesia dalam penggunaan energi kotor lebih lama.

Manajer Program Transformasi Sistem Energi IESR, Deon Arinaldo, menyebut risiko lonjakan emisi sangat besar apabila pembatasan PLTU dilonggarkan. “Emisi ketenagalistrikan bisa melonjak dari rata-rata sekarang 0,85–0,87 kgCO₂e per kWh. Itu akan menurunkan daya saing industri Indonesia,” ujarnya.

Deon menambahkan, industri ekspor yang dituntut menekan jejak karbonnya—termasuk pasar Uni Eropa—berpotensi meninggalkan Indonesia jika listrik tetap bergantung pada batu bara. “Banyak perusahaan multinasional, terutama anggota RE100, bisa menahan ekspansi atau pindah dari Indonesia jika kita tetap bertahan pada energi fosil,” lanjutnya.

Menanggapi hal tersebut, IESR meminta pemerintah kembali ke jalur transisi energi yang telah disepakati secara global. Mereka mendesak penghentian operasi PLTU pada 2050, percepatan pengakhiran operasi PLTU yang tua dan tidak efisien, larangan pembangunan PLTU baru, termasuk untuk industri hilirisasi, percepatan pembangunan energi terbarukan ditopang sistem penyimpanan energi dan perluasan jaringan listrik. Dengan demikian, revisi Perpres 112/2022 tidak menjadi celah untuk memperpanjang umur batu bara, tetapi menjadi pendorong nyata menuju sistem energi yang bersih dan kompetitif. (Hartatik)

Foto banner: Sander van der Werf/shutterstock.com

Like this article? share it

More Post

Receive the latest news

Subscribe To Our Weekly Newsletter

Get notified about new articles