Jakarta – Lembaga riset energi Institute for Essential Services Reform (IESR) memberi peringatan keras dalam Indonesia Energy Transition Outlook (IETO) 2026 yang dirilis Kamis, 20 November. Dalam laporan terbarunya, IESR menilai Indonesia berpotensi gagal melakukan transisi energi bila tetap mempertahankan ketergantungan pada bahan bakar fosil, meski pemerintah telah menyuarakan ambisi menuju 100 persen energi terbarukan dalam satu hingga dua dekade mendatang.
Alih-alih menunjukkan percepatan, IESR mencatat perjalanan transisi Indonesia dalam sembilan tahun terakhir berjalan stagnan. Target bauran energi terbarukan 23 persen pada 2025 dipastikan meleset karena hingga pertengahan 2025 baru mencapai sekitar 16 persen. Tren ini, menurut laporan tersebut, mengindikasikan bahwa arah kebijakan energi masih belum bergerak dari fondasi fosil, sekalipun ekonomi terus tumbuh dan ancaman krisis iklim semakin menguat.
CEO IESR Fabby Tumiwa menilai kondisi ini mencerminkan paradoks yang terus berulang. “Transisi energi Indonesia berjalan lambat yang disebabkan oleh tiga hambatan struktural, yaitu kerangka peraturan yang tidak koheren, kebijakan fiskal yang memberikan insentif penggunaan energi fosil, dan fragmentasi institusi dan prioritas,” ujarnya. Ia menambahkan, lemahnya penanganan hambatan tersebut telah memperburuk iklim investasi energi bersih dan menghambat pengembangan teknologi rendah karbon.
Fabby menegaskan bahwa kesenjangan antara retorika dan realisasi harus segera ditutup bila Indonesia ingin menjaga kredibilitas di mata internasional. “Pemerintah perlu bekerja ekstra keras untuk memangkas hambatan transisi energi yang terus bertahan,” katanya. Ia menyoroti kebutuhan mendesak akan reformasi institusi, penghentian pembangunan PLTU baru, pensiun PLTU eksisting, serta peningkatan insentif dan instrumen pendanaan energi terbarukan.
Sementara itu, pertumbuhan permintaan listrik nasional yang mencapai 3–10 persen per tahun semestinya membuka ruang bagi energi terbarukan untuk tumbuh lebih cepat. Namun, fakta di lapangan justru menunjukkan arah sebaliknya. Analis Sistem Ketenagalistrikan IESR, Abraham Octama Halim, mengungkapkan bahwa bauran energi terbarukan justru turun dalam lima tahun terakhir. “Dari 13 persen di 2020, menjadi hanya 11,5 persen di 2024. Ini meleset dari target RUPTL yang seharusnya 15 persen,” ujarnya.
Padahal, kata Abraham, simulasi IESR di beberapa wilayah menunjukkan bahwa sistem berbasis PLTS dan baterai mampu menurunkan biaya pembangkitan listrik hingga 3–21 persen. “Kami mengidentifikasi adanya kesenjangan lebar antara potensi energi terbarukan yang melimpah, perencanaan sistem, hingga realisasi di lapangan,” jelasnya.
Di sisi lain, indikator kesiapan transisi energi juga menunjukkan jalan terjal. Dalam Transition Readiness Framework (TRF) 2026—indeks yang dirancang IESR untuk mengukur kondisi pendukung transisi—terdapat empat dari sebelas faktor yang masih berada pada kategori rendah, terutama kebijakan, kepemimpinan, dan investasi. Hal ini diperparah oleh subsidi energi fosil yang justru meningkat drastis dalam periode 2022–2026 dengan total mencapai Rp 1.023 triliun.
Analis Finansial dan Ekonomi IESR, Putra Maswan menjelaskan bahwa minimnya dukungan anggaran daerah turut menghambat transisi energi. “Anggaran energi terbarukan di tingkat provinsi hanya Rp 426,7 miliar untuk 2025 dari 33 provinsi,” katanya. Ia mencontohkan Provinsi Bali yang memiliki potensi surya 21 GW tetapi baru mampu memenuhi kurang dari tiga persen target energi terbarukan 2025.
Melihat berbagai hambatan yang mengemuka, IESR menawarkan enam rekomendasi strategis yakni menetapkan rencana pensiun energi fosil yang terukur, mereformasi kelembagaan dan regulasi, memperluas pemanfaatan energi surya dan angin, mendorong industrialisasi rendah karbon, memperkuat pembiayaan energi bersih, serta meningkatkan partisipasi publik. (Hartatik)
Foto banner: metamorworks/shutterstock.com


