Jakarta – Institute for Essential Services Reform (IESR) mengatakan bahwa dokumen “Global Mutirão” yang dihasilkan pada penutupan Konferensi Iklim PBB (COP30) di Belém, Brasil, belum cukup menunjukkan arah ambisi iklim global yang kuat. Menurut IESR, meski dokumen tersebut memperkenalkan inisiatif baru, fondasi komitmen dunia untuk mempercepat aksi iklim masih rapuh karena tidak adanya kejelasan mengenai penghapusan bahan bakar fosil maupun pendanaan iklim yang memadai.
Global Mutirão berisi sejumlah mandat baru seperti Global Implementation Accelerator (GIA) dan Belém Mission to 1.5. Namun, bagi IESR, ketiadaan peta jalan penghentian penggunaan bahan bakar fosil menggambarkan lemahnya kesepakatan internasional untuk menjaga kenaikan suhu global tetap di bawah 1,5°C.
Delima Ramadhani, Koordinator Kebijakan Iklim IESR, menyatakan bahwa dokumen tersebut justru memperlihatkan ruang kosong yang mengkhawatirkan. “COP30 bertujuan untuk fokus pada agenda transisi energi. Namun, dalam teks ‘Global Mutirão’, tidak ada frasa yang berhubungan dengan transisi energi, seperti arahan pada fase bahan bakar fosil,” ujarnya.
Dalam webinar Debrief COP30 yang digelar IESR, Delima mengatakan bahwa dalam konteks Indonesia, pembaruan Second Nationally Determined Contribution (SNDC) 2025 belum mencerminkan urgensi yang ditunjukkan oleh hasil Global Stocktake. Menurutnya, target penurunan emisi untuk 2030 tidak diperbarui, padahal hal tersebut penting sebagai tindak lanjut temuan bahwa emisi global harus turun 43 persen pada 2030 agar peluang menjaga suhu tetap 1,5°C tetap terbuka.
Delima menjelaskan bahwa meski cakupan NDC Indonesia terbilang luas dan format transparansi telah diperbaiki, pemerintah tetap mempertahankan strategi energi berbasis karbon tinggi. “Dalam sektor energi, pemerintah menargetkan puncak emisi pada 2038, lebih lambat dari proyeksi sebelumnya. Ini menunjukkan bahwa strategi pembangunan ekonomi Indonesia masih bergantung tinggi karbon,” ujarnya.
Ia menambahkan bahwa Indonesia tidak menyertakan komitmen eksplisit untuk keluar dari bahan bakar fosil. Batu bara tetap dijaga melalui skema teknologi clean coal dan co-firing biomassa, alih-alih dikurangi secara bertahap. IESR menilai bahwa tanpa perubahan mendasar, emisi nasional—di luar sektor FOLU—diproyeksikan terus meningkat hingga 98 persen dalam skenario tidak bersyarat.
Manajer Diplomasi Iklim dan Energi IESR, Arief Rosadi, menilai bahwa Indonesia memiliki peluang politik besar untuk memimpin negara-negara Global South dalam mempertahankan ambisi iklim pasca-COP30. Namun, peluang itu hanya dapat dimaksimalkan jika kebijakan domestik menunjukkan konsistensi dengan narasi yang kerap disampaikan pemerintah di forum internasional.
Menurutnya ada tiga langkah penting yang perlu dilakukan Indonesia ke depan: mengamplifikasi isu iklim di forum internasional, memastikan kebijakan domestik mencerminkan ambisi tersebut, serta menerjemahkan keputusan multilateral menjadi kemitraan konkret bagi percepatan energi terbarukan. (Hartatik)
Foto banner: Gambar dibuat oleh DALL-E OpenAI melalui ChatGPT (2024)


